GOLD PRICE IS IN YOUR HAND!!

Unduh gratis aplikasi pemantau harga emas kami, untuk pengguna BlackBerry klik http://www.salmadinar.com/ota dan pengguna Android klik http://www.salmadinar.com/android langsung dari device Anda

24hr Gold Dinar Chart

24hr Gold Dinar Chart

Rabu, 28 April 2010

MENGENALI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA EMAS


--“The desire of gold is not for gold. It is for the means of freedom and benefit.” R. W Emerson--

Meskipun perlu, sebenarnya tidak terlalu penting bagi kita untuk mempelajari terlalu dalam data pergerakan harga emas, kemudian mengambil kesimpulan tentang trend, lalu membuat prediksi-prediksi harga emas di masa datang, apalagi sampai menetapkan teori atasnya.

Karena jika niat kita ‘lurus’ hendak menyelamatkan harta, ditambah dengan harapan jangka panjang untuk menaikkan ‘value’ simpanan diri pribadi atau keluarga, maka sesungguhnya tak ada yang namanya ‘waktu yang salah’ untuk mengawali pembelian atau penyimpanan Dinar. Tak ada istilah ‘waktunya kurang tepat’, atau ‘saatnya memborong’ dalam investasi Dinar emas.

Apalagi jika kita berinvestasi dalam Dinar emas atau emas pada umumnya dalam kerangka upaya individu, bukan dengan niat komersial. Beda halnya jika Anda menjalankan sebuah usaha yang memperjual-belikan emas, misalnya toko emas atau usaha pemurnian dan pencetakan emas, maka statistik yang menyangkut prediksi harga emas menjadi informasi terpenting bagi bisnis Anda.

Selain itu, harga emas terlalu sulit untuk diramalkan. Nanti waktu kita sia-sia, habis untuk mengamati pergerakan harga berupa grafi-grafik di layar kaca. Para ahli sendiri lebih mampu menyajikan prediksi harga emas dalam jangka menengah dan panjang, diatas 6 bulan. Emas adalah komoditas yang sangat independen, harganya hampir sepenuhnya dipengaruhi pasar. Meskipun pemerintahan-pemerintahan di dunia berusaha mempengaruhi harga emas, kemampuan mereka terbatas dan makin lama makin habis pengaruhnya.

Jika kita lihat trend jangka panjang harga emas, apa yang telah terjadi selama 1.400 tahun semenjak Dinar dan Dirham ditetapkan sebagai mata uang resmi dalam kekhalifahan Islam, maka data itu sebetulnya telah sangat banyak bercerita.

Pak Muhaimin Iqbal, dalam berbagai tulisannya di geraidinar.com dan buku-buku tentang Dinar dan Dirham, menjelaskan banyak teori yang bisa gunakan untuk memprediksi harga emas, yang biasanya dihubungkan dengan kondisi ekonomi dunia, inflasi dan kehancuran uang kertas, diantaranya Greenspan-Guidotti Rule, Deret Fibonacci, prediksi harga emas versi National Inflation Association (NIA), dan lainnya.

Teori-teori tersebut akan sangat bermanfaat bagi kita, apalagi jika kita memiliki banyak waktu untuk mengumpulkan dan menganlisis informasi dari berbagai sumber. Jika ilmu ini kemudian digunakan sebagai sarana syiar untuk mengembalikan kesadaran umat Islam kembali pada Dinar atau emas pada umumnya, maka tentu berlipat-lipat pahala amalnya.

Lalu bagaimana dengan yang awam ? Bagaimana bagi mereka yang tak cukup waktu, mungkin karena kesibukannya, atau tak punya informasi yang cukup ke sumber-sumber informasi terpercaya ?

Berikut ini kami sajikan beberapa gejala lokal, regional hingga global yang mudah kita tangkap, terutama melalui media cetak dan elektronik, yang jika terjadi dapat mendorong naik harga emas :
- Kepanikan financial secara global
Menengok sejarah di belakang, krisis global biasanya terjadi dalam skala menengah setiap 5 tahun sekali, dan krisis besar setiap 10 tahun sekali. Jadi kita hidup dalam tekanan-tekanan ekonomi yang membuat daya tahan kesejahteraan dan kemakmuran kita menjadi rentan. Dalam situasi tak pasti ini, harga emas justru naik. Diantara depresi, resesi dan krisis ekonomi yang pernah terjadi adalah Great Depression 1930, krisis local di AS tahun 1970 – 1971, tahun 1980 krisis energi dunia karena harga minyak naik, krisis tahun 1998 yang menyapu sebagian besar negara berkembang, dan terakhir tahun 2008 hantaman krisis kembali menimpa Amerika.

- Angka inflasi naik tak terkendali
Angka psikologis 2 digit (misalnya 13%) pada inflasi menandakan sesuatu yang tak nyaman telah terjadi, berakibat pada naiknya harga-harga. Pada situasi inflasi naik, maka nilai emas juga makin tinggi melebihinya. Pada tahun 2009 lalu, performa emas meyakinkan dengan naik 24,9% setahun, ‘meninggalkan jauh’ inflasi yang cukup rendah di bawah 10%. Inflasi hanya mengikis nilai uang kertas, tapi tak mempengaruhi sedikitpun harga emas.

- Kejadian politik besar yang mempengaruhi kestabilan politik internasional
Kejadian-kejadian seperti 9/11, perang 7 tahun Iran vs Irak, penyerbuah Irak ke Kuwait, dan lainnya, terutama yang melibatkan negeri-negeri barat dan Timur Tengah sebagai pemasok utama minyak dunia, membuat situasi tak menentu. Dalam situasi seperti ini, emas selalu jadi pegangan dan sandaran. Emas justru naik ketika situasi geopolitik membuat cemas tak menentu.

- Kurs Dollar menguat
Banyak orang menyangka jika Dollar melemah terhadap mata uang lain, misalnya terhadap Rupiah, maka harga emas akan turun. Padahal tidak. Harga emas dunia masih ditakar dengan US Dollar. Sehingga jika menguat, maka harga emas akan terbawa naik.

- Kenaikan harga minyak dan harga komoditas pada umumnya
Dalam grafik yang menunjukkan pergerakan nilai yang membandingkan emas dengan komoditas lainnya selama puluhan tahun, terlihat bahwa kenaikan keduanya proporsional. Ketika harga kebutuhan pokok naik, harga minyak mentah dan emas juga naik. Kenaikan yang proporsional ini sebetulnya menunjukkan kehebatan dasar dari emas, yaitu nilai belinya terhadap komoditas selalu tetap. Sementara uang kertas berkebalikan : daya belinya terus menurun terhadap komoditas.

- Naiknya permintaan emas sebagai cadangan devisa negara
Ketika terjadi berbagai tekanan dan goncangan ekonomi dunia, negara-negara biasanya – seperti biasa – mencari pelarian ke emas untuk memperkuat ketahanan ekonomi negaranya. Contohnya ketika krisis ekonomi AS makin parah tahun lalu, dimulai bulan September 2009 negara-negara seperti China, India, Mauritius dan Sri Lanka memperkuat cadangan devisanya berupa emas seberat 403 ton. Permintaan yang demikian banyak, ditambah situasi krisis yang belum usai, membuat harga emas meroket hingga ke titik tertingginya USD 2.000 per troy once pada awal Desember 2009.

- Naiknya konsumsi emas dunia dan permintaan emas di pasar lokal
Pada situasi ini, hukum permintaan dan penawaran yang berlaku. Ketika permintaan emas di pasar local maupun dunia naik, maka akan mendorong naik harga emas. Mengapa sebab-akibat ini terjadi dalam pola yang sama dan demikian sederhana ? Sebabnya adalah karena jumlah cadangan emas di perut bumi bertambah seiring pertambahan jumlah populasi manusia, yaitu sekitar 1,5% saja per tahun. Jadi emas selalu cukup, namun selalu langka. Emas tak pernah kelebihan supply yang membuat harganya turun. Yang terjadi sebaliknya : penambangan dan pengolahannya terbatas, sehingga emas tetap saja langka. Ketika permintaan naik dan supply tetap, maka otomatis harganya naik.

Bagi seorang muslim, kemampuannya dalam memahami gejala di perokonomian dunia sehingga dapat membaca arah pergerakannya adalah hal yang baik sekali. Tidak saja untuk keperluan memprediksi harga emas, melainkan juga untuk mengamati peluang dan ancaman global terhadap Islam secara umum.

Sense of war, termasuk di dalamya economic war, adalah insting yang perlu terus diasah pada diri-diri seorang muslim.

Minggu, 25 April 2010

REFORMASI MONETER UMAR IBN KHATTAB


Dalam kajian-kajian disiplin ilmu bisnis dan marketing dua tahun belakangan ini, kita kerap mendengar istilah CHAOTIC. Atau CHAOS market, juga CHAOS situation. Saya juga pernah share sebuah tulisan lainnya sebelum ini yang berjudul "2010 : Welcome to the New Normal" (silakan ke www.salmadinar.com bagi yang ingin membaca secara lengkap), yang mengulas isu yang sama, namun lebih banyak dari sisi keuangan pribadi dan rumah tangga.

Dalam situasi chaos, yang terjadi adalah perubahan yang sangat cepat dan massive di lingkungan ekonomi, kompetisi dan pasar/konsumen. Dampak yang dirasakan pelaku usaha bisa sangat mematikan, berbeda dengan tantangan bisnis biasa yg terjadi sesekali, menimbulkan riak-riak kecil dan lokal sifatnya. Kita tentu ingat bagaimana raksasa Nokia pada tahun 2008 masih menjadi pemimpin pasar handset (handphone) di Indonesia, bisa tergusur tanpa aba-aba pada 2009 ditumbangkan Blackberry. Dan ini tak terjadi hanya di pasar domestik, namun juga di banyak negara. Demikian juga GM (General Motors) yang masuk jurang hanya dalam 5 tahun setelah terlilit permasalahan internal, kemudian benar-benar dibuat KO oleh krisis financial terakhir yang terjadi 2008 – 2009 lalu.

Bagi perekonomian sebuah negara, chaos yg terjadi dan mempengaruhi lingkungan industri bisa menyapu dalam sekejap pilar-pilar ketahanan ekonominya, apalagi bagi negara yg dibangun dari indikator kemakmuran semu, yang 'maju dan sejahtera' hanya di hitungan atas kertas dan laporan kinerja keuangan semata.

Dalam perencanaan bisnis maupun RAPBN, ekonomi adalah aspek uncertain (ketidakpastian) yang selalu muncul jadi momok. Itu berlaku di industry apapun dan negara manapun. Sudah pun uncertain, impaknya sangat besar jika terjadi. Apa jadinya jika harga minyak dunia naik dari USD 65 menjadi 130 dalam waktu 2 bulan ? Seluruh rencana jadi buyar, strategic planning yang dibuat untuk rentang 10 tahunan harus direvisi seketika, asumsi-asumsi tinggal cerita.

Apa jadinya jika sekelompok debitur, yang tak qualified dari awalnya, gagal bayar untuk kredit rumah yang sebetulnya memang tak pantas mereka miliki ? Krisis financial yang awalnya menumbangkan para pemain raksasa bisnis keuangan yang belum berlalu kemarin itulah akibatnya. Dan industry yang menikmati jasa keuangan semisal mereka, dimanapun, kena dampaknya. Beberapa perusahaan di Indonesia juga.

Maka diantara banyak solusi menghadapi situasi seperti ini, baik negara atau badan usaha, para ahli menganjurkan salah satunya adalah dengan reposisi diri, kembali ke kompetensi dan nilai inti. Istilah kerennya : menemukenali inti diri dan kembali ke DNA-nya. Karena DNA adalah ciri khas, pembeda utama. Dengan idealisme, nilai dan prinsip inti itu, sebuah negara atau organisasi bisa menjalankan aktivitas usaha dengan passion-nya. Dan passion melahirkan usaha tak kenal henti, inovasi, sensitivitas dan kelincahan yang tinggi dalam menghadapi berbagai situasi. Kesiapan untuk bergerak dan berubah itulah sesungguhnya bekal esensial menghadapi situasi chaos yang terjadi.

Dalam kacamata umat Islam, DNA itu adalah Al-Islam itu sendiri. Sesuatu yang telah kita punya dan membuat kita berbeda dan unggul dari ummat lain. Fitrah yang telah Allah anugerahkan untuk kita.

Situasi tak menentu sekarang sesungguhnya memberikan peluang kita untuk melakukan reformasi moneter. Dunia haus dan merindukan jawaban, dan kita seharusnya membawa Islam maju ke panggung terdepan untuk membawa solusi. Dengan cara apa ? Kembali ke DNA yaitu ajaran Al-Islam. Dan salah satu disiplin dalam penegakan ekonomi Islam adalah pengelolaan moneter / keuangannya.

Mengapa reformasi moneter ? Karena uang merupakan salah satu faktor kekuasaan dan kemandirian ekonomi. Karena itu uang merupakan salah satu bidikan terpenting dalam perang ekonomi antar negara. Ketika ekonomi suatu negara akan diguncangkan atau dijatuhkan, maka segala rekayasa diarahkan, sebagai prioritas utama, kepada uang negara tersebut. Goyahnya nilai uang, akan membuat goyahnya ekonomi secara keseluruhan. Tak lama, kemerdekaan, harga diri dan hak-hak negara terenggut.

Sebagai acuan, kita bisa melihat bagaimana khalifah Umar ibn Khattab melakukan reformasi moneternya kala itu :
1. Islam melarang setiap hal yang berdampak pada bertambahnya gejolak dalam daya beli uang, dan ketidakstabilan nilainya yang hakiki, dengan cara :
a. Pengharaman perdagangan uang, yaitu dengan mengharamkan riba yang merupakan salah satu persoalan terbesar moneter hingga saat ini
b. Pengharaman penimbunan, dikarekan dampaknya terhadap harga dan daya beli uang. Bandingkan dengan saat ini dimana penabung justru diiming-imingi hadiah agar memperbesar tabungan yang artinya uang tertimbun di bank.
c. Pengendalian inflasi, diantaranya dengan cara pengawasan kestabilan uang dan kebijakan politik yang mengarah padanya
2. Memastikan tak beredarnya uang palsu, terutama Dirham dengan terlalu banyak campuran logam tak berharga di dalamnya, karena uang berperan sesuai fungsinya dan terlindungi nilainya jika murni dan dipercaya rakyat.
3. Mengendalikan inflasi, cukup dengan menghimbau rakyat agar menginvestasikan uang (pada sector riil), sederhana dalam pembelanjaan, melarang berlebiih-lebihan dan menghambur-hamburkan uang.
4. Penyatuan uang / mata uang tunggal, karena selain mencerminkan upaya ekonomi, hal ini juga menunjukkan kesatuan politik dan kepemimpinan. Dasar penyatuan ini adalah sabda Rasulullah SAW “Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, sedangkan takaran adalah takaran penduduk Madinah”. Implikasi kebijakan moneter yang satu ini tampak pada pencetakan Dirham sesuai timbangan syar’i dan Dinar, sebuah standar baru dalam moneter Islam yang kemudian menjadi acuan generasi-generasi Islam berikutnya.

Inilah jawaban Islam atas segala persoalan ketidakpastian ekonomi saat ini. Islam adalah pandangan hidup sekaligus jatidiri seorang muslim. Akankah kita bergegas kembali padanya ?

Allahua'lam

Senin, 12 April 2010

APAKAH ANDA PENABUNG YANG RASIONAL ?


Tak ada satupun definisi ‘kecerdasan’ dalam Islam yang merujuk semata kepada kecerdasan intelektual. Al Quran menamakan ‘ULIL ALBAB’ adalah mereka yang memiliki gabungan antara kecerdasan intelejensia (kuat rasionya), kecerdasan emosional (seimbang kepribadiannya) dan kecerdasan spiritual (benar agamanya). Ini jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud ULIL ALBAB adalah manusia yang menggunakan dengan baik potensi akalnya.

Ada sekitar belasan karakteristik ULIL ALBAB yang dijelaskan dalam Quran. Kami akan mencuplik sebagian yang ada hubungannya dengan perencanaan keuangan, diantaranya :
1. Mempersiapkan bekal atau memikirkan kehidupannya di dunia. Serta memanfaatkan semua potensi yang saat ini dimilikinya untuk menyiapkan kemungkinan buruk yang mungkin menimpanya di masa depan (Al-Baqarah : 297)
2. Mengamati dan menganalisa potensi alam serta memaksimalkannya untuk kepentingan diri sendiri pada khususnya dan manusia pada umumnya. (Ali Imran : 190 – 191)
3. Lebih memilih kebaikan daripada keburukan meskipun keburukan itu menarik hati. (Al-Maidah : 100)
4. Mau belajar dari kisah-kisah orang terdahulu. Baik pelajaran yang membawa kebaikan maupun pelajaran yang membawa keburukan. (Yusuf : 111)
5. Menjalin silaturrahim, menjalin hubungan dengan orang lain. (Al-Baqarah : 269)
6. Memberikan manfaat bagi orang lain, serta menolak kejahatan dengan cara yang baik. (Ar-Ra’du : 22)
Sebuah hadits juga menerangkan bahwa orang yang cerdas yang dimaksud Rasulullah SAW adalah bukan yang pandai dengan intelektualitas tinggi sebagaimana yang sering kita jadikan penakar kapasitas seseorang saat ini. Hadits menjelaskan sebagai berikut :
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’

‘Mukmin manakah yang PALING CERDAS?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
“Orang yang paling banyak MENGINGAT MATI dan paling baik PERSIAPANNYA untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.”

Mari kita bawa isyu ini ke situasi kini, dimana tudingan “emosional” atau “tidak rasional” sering diarahkan kepada para pengguna jasa keuangan syariah. Mereka yang mengatakan ini biasanya mengambil pandangan sekuler sebagai dasar. Siapa saja yang menabung atau berinvestasi dengan imbal hasil / return tinggi disebutnya rasional, karena menganggap orang ini sedang mempertaruhkan uangnya pada jenis kegiatan investasi atau menabung yang memiliki kepastian tingkat hasil. Sementara siapa saja yang bertransaksi syariah, dengan benefit sedang (namun sustainable dalam jangka panjang), dianggap emosional.

Contohnya ketika seorang nasabah yang tadinya menabung di bank Islam mendapat informasi bahwa ada tingkat bunga yang tinggi di bank konvensional (bank riba), lalu karena merasa lebih menguntungkan nasabah ini memindahkan ke dananya dari bank Islam ke bank konvensional itu, maka nasabah ini akan dianggap rasional. Padahal jika dicermati, nasabah ini sesungguhnya emosional, karena mempertimbangkan kepentingan jangka sangat pendek. Seseorang yang mengambil keputusan, apapun itu, karena tekanan situasi mendadak dan bersifat jangka pendek, adalah orang seorang yang emosional. Emosional adalah orang yang mudah berbolak-balik jiwanya.

Itu jelas bertentangan dengan kriteria rasional seperti diuraikan di Al-Quran maupun hadits, dimana dalam rasionalitas terdapat aspek visi jangka panjang, yakin dalam kebenaran dan menghindari keburukan, keyakinan akan ada balasan untuk setiap kebaikan maupun keburukan, aspek manfaat dari setiap keputusan, serta menggunakan potensi dalam bingkai ketaatan kepada Allah SWT.

Jadi apa yang disangka RASIONAL, sebetulnya EMOSIONAL. Dan sebaliknya.

Pembolak-balikan stempel yang diberikan oleh orang yang tidak menyukai Islam ini sering terjadi, bahkan dikisahkan dalam ayat ke-13 surat Al-Baqarah (dalam kasus ini orang munafik) membalikkan fakta bahwa orang-orang beriman adalah orang yang bodoh jadi orang beriman itu tak layak diikuti (keimanannya). Namun Allah membalasnya dengan menyatakan “…sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui…”

Jika parameter kecerdasan ini kemudian diperluas untuk mengkaji dan membandingkan tabungan dalam uang kertas (dalam mata uang apapun) dengan tabungan dalam bentuk Dinar emas, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa yang paling rasional adalah menyimpan dan berinvestasi dalam Dinar emas.

Bagaimana hal ini dijelaskan ?

Kita harus pahami terlebih dahulu bahwa tabungan yang kita bahas disini adalah bagian dari membangun ketahanan ekonomi rumah tangga kita di masa datang dalam rangka bersiap menghadapi situasi ketidakpastian sebagaimana dicontohkan dalam surat Yusuf 43 - 48, misalnya untuk :
- menunaikan ibadah haji (utk diri, pasangan, kerabat, atau orang tua),
- membiayai sekolah anak-anak di tingkat universitas,
- menyiapkan dana jihad (misalnya : pembangunan kampus penghapal Quran),
- penyiapan wakaf tunai atau wakaf tanah untuk perpustakaan Islam,
- tabungan hari tua saat pensiun,
- simpanan untuk keadaan darurat orang tua kita

Menabung dengan cara tradisional, yaitu dengan menitipkan sejumlah uang ke bank, ternyata terbukti mengandung banyak kerugian. Sistem dan aturan main tabungan bank menggerogoti nilai tabungan kita. Setelah krisis moneter 1998, bank-bank negeri ini menggeser penghasilan utamanya ke fee based income. Selain penghasilan dari bunga kredit, bank memaksimalkan pendapatan dari pengelolaan rekening, serta jasa transfer yang bisa dikutip langsung dari nasabah. Pada saldo tertentu, tabungan kita di bank tidak menghasilkan apa-apa. Bagi hasilnya nol. Jika kita menyimpan Rp 900 ribu di bank (dimana saldo dibawah Rp 1 juta bunganya nol) saat ini, lalu kita diamkan, maka 7,5 tahun ke depan uang kita akan menjadi nol dimakan biaya administrasi tabungan dan ATM.
Jika disimpan dalam deposito, mungkin lebih menjanjikan bunga / bagi hasilnya. Tapi deposito membuat uang kita terikat tidak bisa dipakai setiap saat.

Selain tergerus karena biaya-biaya diatas, bunga / bagi hasil tabungan dan deposito tak mampu mengejar laju inflasi. Sekali lagi kita harus menanggung akibatnya, dirampok diam-diam tanpa kita sadari oleh inflasi. Maksimal bunga deposito adalah 8%, sementara tabungan di bawahnya, harus melawan inflasi hingga 12% per tahunnya. Kompetisi yang tak adil.

Bandingkan dengan emas yang memberikan tingkat hasil hingga 27% rata-rata per tahun, dengan minimal 20%. Seandainya Rp 900 ribu yang ditabung sebagaimana contoh diatas digunakan untuk membeli sekeping Dinar pada pertengahan tahun 2007 (harga sekeping Dinar saat itu), maka nilainya saat ini telah menjadi Rp 1,4 juta (atau naik nilainya dalam rupiah sebesar lebih dari 50%).

Makin lama masa investasi makin baik keuntungan yang bisa didapatkan dari tabungan emas. Dan tingkat hasil emas per tahun telah jauh melebihi laju inflasi. Khusus tentang Dinar, nilainya sesungguhnya “TETAP”, semenjak 1400 tahun lalu dipergunakan, satu keping Dinar selalu senilai (atau sanggup membeli) seekor kambing. Setiap tahun harganya makin tinggi karena nilai rupiah dan dollar serta mata uang lainnya terus terdepresiasi, makin loyo dan tak berharga.

Negara kita rawan krisis. Demikian pula negara manapun yang dibilang adidaya dan pemimpin dunia industry. Dunia saat ini telah dimangsa system ekonomi yang dibuatnya sendiri. Dalam sepuluh tahun, biasanya terjadi krisis skala besar, perlambatan pertumbuhan ekonomi, banyaknya pengangguran, kurs valas amburadul. Setiap lima tahun, terjadi krisis lebih kecil. Dalam setiap krisis, ada yang dimangsa, ada yang pesta pora. Dan negara seperti Indonesia tak pernah kebagian senangnya, yang terjadi kita selalu di posisi menderita.
Karena itu, asset dan jerih payah kita harus dilindungi.

Dengan berbagai fakta diatas, Anda tentu bisa menilai mana yang lebih rasional : menyimpan dalam tabungan uang kertas atau menyelamatkan asset dalam Dinar emas ?

Selain berbagai keuntungan ekonomis, penggunaan Dinar juga bermakna ukhrawi, karena Dinar adalah mata uang Islam. Penggunaan dan sosialisasinya bermakna syiar.

Allahua'lam

Sumber :
*) Cerdas Investasi Emas, William Tanuwidjaja, MedPress, Yogyakarta, 2009
*) http://kholimi-id.blogspot.com/2010/03/ciri-orang-cerdas.html

Sabtu, 10 April 2010

APAKAH DINAR BISA MENUNTASKAN MASALAH KEMISKINAN ?


Q : Apakah Dinar bisa memberi dampak pengurangan tingkat kemiskinan ? Orang di seputar saya membicarakan dinar tak beda dengan bicara tanah, mobil, motor, emas dan saham. Mohon penjelasan.

A : Sejujurnya, pertanyaan ini sangat saya tunggu-tunggu. Mengapa ? Karena saat ini memang sudah seharusnya masuk ‘periode’ dimana Dinar harus dibicarakan dan ditantang untuk memberi solusi ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Agak berbeda dengan 5 – 6 tahun lalu, ketika awal Dinar diperkenalkan sebagai alternatif investasi yang pasif sifatnya.

Jawaban untuk pertanyaan ini bisa sangat panjang. Pertama karena alat tukar atau aspek moneter (dimana positioning Dinar aplikasi asalnya adalah disini) hanya sebagian kecil dari elemen ekonomi. Dan kedua, karena kemiskinan tidak selesai dengan hanya dengan langkah-langkah ekonomi, melainkan juga inisiatif hukum, social dan politik.

Implementasi sebagian kecil dan tidak integral dari nilai-nilai Islam dalam praktek berkeluarga, bermasyarakat, hingga bernegara, bisa saja membawa sedikit dampak positif, namun belum optimal. Bahkan salah-salah bisa jadi membuat situasi makin buruk. Contohnya Sudan, ketika pada 1984 berusaha mengintegrasikan system zakat dan pajak. Pengenaan pajak yang tidak komprehensif sebagaimana jaman Rasul SAW dan kemudian dihilangkannya pajak penghasilan, membuat kesenjangan ekonomi makin besar. Yang kaya makin kaya, yang miskin terpuruk.

Namun kita harus memakluminya sebagai sebuah proses, dan pengertian “KAFFAH” (komplet dan integral) dalam implementasi Islam sifatnya adalah dinamis. Kita tak boleh menghalangi setiap inisiatif yang berusaha menerapkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Bank Syariah misalnya, adalah upaya maju. Meskipun terbukti kebal krisis dan pertumbuhannya menggembirakan, kita melihat kecepatan bank syariah belum bisa mengimbangi tuntutan dalam menghidupkan sector riil produktif di masyarakat. Tapi apakah kita akan kritik dan matikan inisiatif yang baik ini ? Tentu tidak. Kita sebaiknya mendorongnya bergulir lebih besar, ditambah juga inisiatif yang lain di segala lini.
Demikian juga Dinar.

Saya akan meletakkan konklusi atas jawaban panjang saya di bagian bawah dengan menjawab “YA”, bahwa Dinar adalah salah satu solusi atas masalah kemiskinan.

PERTAMA, kita harus menyadari bahwa kemiskinan dalam sebuah negeri harus tersingkir dan digantikan oleh kesejahteraan. Dan Islam punya segala jawaban tentang ini. Karena blueprint hingga petunjuk pelaksanaan ekonomi Islam telah nyata ada dan diwujudkan dalam praktek di awal-awal kekhalifahan Islam, bahkan diawali di Madinah sebagai model praktek bernegara terlengkap yang pernah ada di muka bumi. Dan bukti kesuksesan praktek ekonomi Islami itu telah terbukti hasilnya membawa kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Kita tentu sering mendengar kisah sulitnya mencari mustahik / penerima zakat di seluruh negeri karena masyarakatnya hidup sejahtera. Kita juga kenal gaya hidup para sahabat yang begitu bersahaja padahal mereka adalah konglomerat yang dari sebagian besar hartanya itu negeri jadi makmur, karena kebersamaan dan kesetaraan dalam Islam adalah nilai yang sangat ditekankan. Bahkan ekonomi Islam juga sangat mandiri dari awalnya, tidak tergantung dari negeri lain, tak berhutang, tak meniru system ekonomi. Seluruh aktivitas negara diatur dan dibiayai sendiri.

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang dimiliki negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi (sector riil) dan neraca pembayaran yang positif. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, hingga ujungnya adalah menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya.

Lihatlah kondisi ekonomi dunia saat ini. Ekonomi yang berbasis uang kertas berjalan karena sebagian besar (bahkan sangat besar) uang yang berputar di lantai bursa, transaksi pasar uang, bukan karena membiayai usaha dan konsumsi komoditas riil. Sebagian besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri. Hanya 5% dari transaksi di pasar uang yang berkaitan dengan transaksi pasar barang dan jasa. Maka segala penyakit ekonomi telah menjangkiti kita, setiap saat bisa kambuh. Inflasi menghantui kapanpun dan menjadi perampok terbesar kesejahteraan kita. Kita harus rela 5 tahun sekali mengalami gejolak ekonomi skala menengah dan setiap 10 tahun sekali krisis besar.

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa dalam Islam, kemakmuran yang berdampak kecilnya (bahkan hilangnya) angka kemiskinan bisa tercapai dengan ekonomi yang digerakkan sector riil, bukan sector keuangan.

KEDUA, dengan dasar penjelasan diatas, kami akan meringkas jawaban atas persoalan “Peran Dinar dalam Menanggulangi Kemiskinan” ini menggunakan 2 pandangan, yaitu (1) Tiga pilar Satanic Finance pak A. Riawan Amin dan (2) Roda penggerak system ekonomi Islam versi pak M. Iqbal Muhaimin

1) Tiga Pilar Ekonomi Setan
Pak Riawan Amin menyebut bahwa 3 pilar ekonomi setan adalah (1) FIAT MONEY (uang kertas yang hampa dan kosong melompong), (2) FRACTIONAL RESERVE REQUIREMENT (ketentuan cadangan minimum di bank, yang memuluskan praktek permainan uang melalui bank) dan (3) INTEREST (bunga bank). Tiga pilar itulah yang berjalan saat ini, yang dampak buruknya telah kita ketahui dan rasakan bersama diantaranya adalah pemiskinan massal sekaligus penyejahteraan beberapa gelintir orang. Sungguh sebuah ketidakadilan.
Dinar adalah pengganti pilar no (1) yaitu FIAT MONEY. Dinar adalah ‘pembebas’. Jika transaksi dalam masyarakat menggunakan Dinar yang nilainya tetap serta nilai ekstrinsiknya = kandungan emasnya, maka praktek penggandaan uang kertas tak bisa terjadi. Karena tak terjadi penggandaan uang kertas, maka perdagangan stabil, sehingga tak terjadi inflasi.
Selain itu, para ahli membuktikan penggunaan emas dalam transaksi perdagangan dunia, bisa menguntungkan, karena menghilangkan resiko volatilitas mata uang. Dengan hilangnya volatilitas yang disebabkan naik turunnya kurs valas, bisa mendorong perdagangan lebih besar.
Inflasi adalah perampok kesejahteraan, dan volatilitas mata uang adalah penghambat perdagangan. Tanpa keduanya, kesejahteraan meningkat dan kemiskinan tereduksi. Terlebih lagi jika perbankan Islam tumbuh tanpa ‘dibonsai’ regulasi bank sentral yang dipaksakan karena menggunakan basis perbankan ribawi, ditambah lagi optimalisasi pengelolaan dan penyaluran zakat, maka kemiskinan dapat terkikis lebih cepat.

2) Roda kesejahteraan berbasis Dinar
Meskipun Dinar dan Dirham sebagai alat lindung nilai kekayaan terbukti menguntungkan dan dapat membangun ketahanan ekonomi, manfaatnya jauh lebih banyak lagi. Dalam bukunya “Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham”, Pak Iqbal Muhaimin menyebutkan bahwa ekonomi Islam yang menyejahterakan digerakkan oleh empat roda yaitu :
o Uang yang Adil (yaitu Dinar dan Dirham)
o Pembiayaan Usaha bebas Riba (melalui Qirad / Mudharabah)
o Pasar yang Syar’i (tersedianya tempat perdagangan / jual-beli yang syar’i, dan pelakunya adil, jujur, hati-hati dan kompeten)
o Harta yang Berputar di Segala Lapisan (melalui zakat, infaq, sadaqah dan waqaf)

Dengan roda-roda ekonomi ini bergerak bersama, maka akan berdampak pada berlangsungnya praktek-praktek ekonomi yang berbasis sector riil, sebagaimana dijelaskan Ibnu Khaldun diatas. Dan kesejahteraan masyarakat meningkat, serta kemiskinan akan terkikis dengan sendirinya.

Mengenai poin kedua yang Anda tanyakan tentang ramainya minat masyarakat terhadap Dinar sebagai alat investasi, ini tanda-tanda baik dan menggembirakan. Setidaknya ini menjelaskan bahwa di masyarakat telah terjadi ‘penyadaran kolektif’ dan ‘ledakan partisipasi’ terkait alat investasi ‘konvensional’ (seperti saham, deposito, properti) yang mengecewakan, digantikan investasi yang ‘fitrah’ dan menjanjikan, yaitu Dinar dan Dirham.

Perlahan-lahan kita perlu membangun tidak hanya ‘penyadaran’, tapi juga ‘pemahaman’ tentang ekonomi Islam pada umumnya, dan Dinar serta Dirham pada khususnya. Perlahan kita ajak masyarakat untuk tidak saja menggunakan Dinar sebagai tabungan dan pengaman harta kita dari gerusan inflasi, namun juga lebih jauh lagi sebagai alat tukar dan modal yang melancarkan sector riil.

Kita harus pahamkan juga, bahwa gerakan kembali ke Dinar ini bukanlah semata gerakan ekonomi, melainkan juga memiliki dimensi-dimensi spiritual dan ketuhanan.

Wallahua'lam

Minggu, 04 April 2010

MENETAP DI BUMI BERSAMA INFLASI



Umat Islam terperosok ke dalam keterpurukan ekonomi secara merata di muka bumi ini bukan karena Islam tak memberi jawaban atas banyak persoalan yang kita hadapi. Karena teori, blueprint hingga petunjuk pelaksanaan keuangan Islam telah nyata ada dan diwujudkan dalam praktek di awal-awal kekhalifahan Islam, bahkan dari masa awal kehidupan bernegara yang dijalankan lengkap di Madinah, setelah Hijrah. Dan bukti kesuksesan praktek ekonomi Islami itu telah terbukti hasilnya membawa kemakmuran bagi seluruh isi bumi, tidak hanya manusia, apalagi hanya untuk kemakmuran pemeluk agama Islam. Karena sejarah telah menunjukkan bahwa perhatian Islam juga menjangkau pemeluk agama lain untuk membangun keharmonisan bermasyarakat, bahkan hingga mengatur ekosistem lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Jika kita membuka lembaran-lembaran sejarah untuk melihat sejarah umat Islam, niscaya kita akan mengetahui bahwa umat Islam ketika menempuh metodologi (manhaj) Islam dalam segala aspek kehidupannya, maka mereka hidup dalam kejayaan, kecemerlangan, dan mampu merealisasikan banyak kemajuan dan penemuan. Sebab sejarah telah merekam keagungan para penakluk wilayah baru, berbagai kisah indah orang-orang yang adil, dan keutamaan orang-orang yang melakukan kebaikan dan perbaikan. Dimana umat Islam mempu menebarkan keutamaan menyingkirkan kenistaan, memupuskan keberhalaan, menunjuki manusia kepada jalan kebenaran, dan memberikan kepada mereka apa yang mampu merealisasikan kebahagiaan dalam urusan dunia dan akhirat.

Bahkan jejak-jejak kejayaan Islam itu, meskipun perlahan pudar, sesungguhnya baru saja benar-benar hilang, bersama runtuhnya kekhalifahan Ustsmani pada awal abad 20.

Dan yang perlu kita pahami, keterpurukan ekonomi yang berujung hilangnya harga diri dan kewibawaan Islam seperti ini terjadi justru karena kita tidak berpegang pada system ekonomi dan moneter yang menjadi tuntunan agama.
Pada masa kekhalifahan pasca Khulafaur Rasyidin, gejala itu sesungguhnya mulai terjadi, dimana para penguasa mulai meninggalkan nilai-nilai Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Misalnya pada jaman Abassiyah, penguasa mulai membina hubungan mesra dengan para bankir Yahudi, bahkan berhutang banyak pada mereka. Pada masa ini perbankan ribawi mulai tumbuh dan berkembang. Para pejabat negara mulai hidup bermewah-mewah, bergelimang harta, bahkan terjerat hutang. Contohnya Hamid bin Abbas harus membayar denda hutangnya sebesar 20.000 Dinar.

Bandingkan dengan contoh kehidupan sederhana yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Ketika praktek ekonomi mulai meninggalkan nilai-nilai Islami, termasuk diantaranya eksperimentasi Sultan Kamil Ayyubi pada masa pemerintahan Bani Mamluk yang memperkenalkan mata uang baru selain Dinar dan Dirham, yaitu Fulus yang terbuat dari campuran tembaga, maka kerusakan mulai terjadi. Karena pencetakan fulus ini, beberapa kepala pemerintahan Bani Mamluk terinspirasi untuk menambah jumlah uang. Pemerintah mulai terlena dengan kemudahan mencetak uang baru, dan mereka mencetaknya dalam jumlah sangat besar dan dengan seenaknya mencantumkan angka nominal yang lebih besar dari kandungan logamnya. Akibatnya ? Uang yang sesungguhnya (Dinar dan Dirham) hilang dari peredaran, dan harga-harga melambung tinggi – inflasi terjadi.

Taqiuddin Ahmad bin Ali al-Maqrizi (1364 – 1441), salah seorang murid Ibnu Khaldun, menyatakan bahwa inflasi terbagi dua yaitu :
- Inflasi natural (akibat berkurangnya persediaan barang), dan
- Inflasi akibat kesalahan manusia

Inflasi natural pernah terjadi pada jaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, yaitu karena kekeringan atau peperangan. Pada saat inflasi terjadi pada masa Umar bin Khattab dimana terjadi paceklik, beliau mengimpor gandum dari Fustat (Kairo) ke Madinah. Akibatnya harga gandum turun.

Sementara inflasi akibat kesalahan manusia, menurut al-Maqrizi, terjadi karena 3 hal yaitu :
1. Korupsi dan administrasi yang buruk
2. Pajak berlebihan yang membebani pelaku usaha
3. Jumlah uang buruk (uang kertas di masa kita, atau fulus dimasa itu) yang beredar berlebihan.

Lihatlah inflasi yang harus kita tanggung saat ini, inflasi natural atau inflasi yang jadi ‘azab’ karena kesalahan tangan manusia ? Dengan melihat ciri-cirinya, meskipun pahit, harus kita akui bahwa kitalah yang membuat kerusakan dan harus dengan rela hati menjalani hidup bersama inflasi yang terus mengiringi.

Al-Maqrizi mengeluarkan teori ini 6 abad lalu dalam situasi yang ternyata, kita ulangi saat ini. Korupsi merajalela, administrasi berbelit dengan biaya tinggi, pajak tinggi bagi pelaku usaha meski belum jelas apa bentuk ‘return’ riil yang diterima rakyat, dan uang telah jadi sesuatu yang tak berharga. Uang telah menjelma menjadi komoditas, dimana lembaga keuangan dan perorangan berusaha mencari untung dari transaksi uang, bukan meraih keuntungan dari sector riil. Uang juga menjelma hampa karena tak terikat dengan backup emas tertentu, otoritas juga dengan sesukanya mencantumkan satuan-satuan nominal di uang yang sejatinya adalah tumpukan kertas itu.

Jika Ibnu Taimiyah (1263 – 1328) bisa memperbaiki keadaan ekonomi pada masa pemerintahan Nasir Hasan, salah satunya dengan cara meminta sultan untuk menyatakan fulus tak berlaku serta melarang pencetaakan uang berlebihan dan dihetikannya praktek perdagangan uang, tampaknya saat ini seluruh ekonom harus meneriakkan gagasan yang sama untuk MENOLAK INFLASI.

Satu hal yang bisa kita lakukan sekarang juga adalah, pada tingkat pribadi, mengembalikan praktek transaksi menggunakan uang yang hakiki - bukan uang buruk yang hampa, yaitu Dinar dan Dirham. Insha Allah.

Wallahua'lam

Sumber
1. Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham, M. Iqbal, Spiritual Learning Center & DinarClub, 2007
2. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Gema Insani Press, 2001
3. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab, Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Khalifa, 2006

Jumat, 02 April 2010

Q & A : BUKANKAH MEMILIKI DINAR ITU SAMA DENGAN MENUMPUK HARTA ?


Q : Assalamualaikum. Pengen tanya dalam islam menimbun harta bukannya sesuatu kedzaliman ? Jika kita ingin menyimpan harta dalam bentuk dinar yang kita tahu harganya sangat menggiurkan, tapi kita telah membiarkan perekonomian terhenti karena uang yang kita timbun. Mohon diberikan penjelasan.

A : Wa'alaikumsalam. Menyimpan dengan menyisihkan sebagian harta yang kita peroleh adalah dianjurkan dalam Islam. Perencanaan finansial sendiri justru adalah bagian integral dari ajaran Islam, sebagaimana misalnya dijelaskan dalam Yusuf 43 – 48, yang garis besarnya menceritakan tentang raja yang bermimpi melihat “tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus; dan tuuh tangkai gandum yang hijau dan tujuh tangkai gandum lainnya yang kering” yang kemudia ditakwil oleh Nabi Yusuf AS berupa pesan “agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut), kemudian apa yang kamu tuai hendaklah dibiarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk dimakan. Setelah itu akan datang tujuh tahun yang sangat sulit, yang akan menghabiskan apa yang kalian simpan”.
Ayat diatas mengajarkan tentang perlunya menyisihkan sebagian harta sebagai upaya bersiap-siap menghadapi kondisi tak pasti. Dalam bahasa kita adalah menabung untuk masa depan.

Selain itu, dalam beberapa hadits, Islam mengajrkan pada kita bahwa perencanaan finansial terutama terkait dengan kewajiban untuk menafkahi diri sendiri, anak dan istri, serta kerabat. Seperti dalam hadits riwayat An-Nasa’i yang berbunyi “Utamakan dirimu sendiri, dan bersedekahlah atas dirimu”, dan Al-Baihaqi : “Setiap orang lebih berhak atas harta bendanya sendiri ketimbang orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.”

Meski demikian, kita harus menyadari bahwa Islam juga memberi batasan-batasan yang jelas dalam mengelola harta, misalnya :
- Keyakinan bahwa harta yang diperoleh adalah kombinasi usahanya sebagai manusia dan pemberian Allah (Az-Zukhruf 32), sehingga agama menuntut harta kita untuk siap digunakan untuk kepentingan Islam di muka bumi (dalam bentuk amal harta seperti shadaqah, wakaf, dana jihad dan lainnya)
- Adanya hak orang lain dalam harta (Adz-Dzariyat 19)
- Harta tak boleh digunakan untuk belanja berlebihan dan hura-hura (Al-Ahqaaf 20)

Sehingga mengelola keuangan pada umumnya, dan menabung pada khususnya, adalah justru mulia, jika dibangun dengan kesadaran bahwa :
- Harta yang diberikan adalah amanah dari Allah, dan
- Harta adalah sarana untuk menggapai orientasi tertinggi kita yaitu surga
Dengan landasan itu, maka menabung kita akan diridloi Allah, misalnya diniatkan untuk :
- melunasi hutang jangka panjang,
- menunaikan ibadah haji (utk diri, pasangan, kerabat, atau orang tua),
- membiayai sekolah anak-anak di tingkat universitas,
- menyiapkan dana jihad (misalnya : pembangunan kampus penghapal Quran),
- penyiapan wakaf tunai atau wakaf tanah untuk perpustakaan Islam,
- tabungan hari tua saat pensiun, dll.

Dengan demikian, menabung dalam segala bentuknya akan baik. Baik dalam bentuk tabungan di bank, deposito, investasi di berbagai bentuk, emas batangan, ataupun Dinar. Jadi Dinar atau emas adalah hanya salah satu bentuk penyelamatan harta.

Terlebih dalam kehidupan modern yang kita jalani sekarang, dimana kesehatan kita tak selamanya baik, nilai uang terus turun, beban hidup makin tinggi (harga-harga naik, sumber daya makin langka), bencana yang sering terjadi, dan keinginan untuk memberikan manfaat kepada orang-orang terdekat sepeninggal kita, maka pengelolaan keuangan baik menjadi makin penting.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita akan :
1. menabung dalam berbagai bentuk pilihan tabungan uang kertas yang nilainya terus tergerus inflasi (naiknya harga) dan depresiasi (melemahnya nilai tukar mata uang kita terhadap mata uang asing), atau
2. menabung dalam komoditas yang jelas dianjurkan dan disebut sebagai 'alat penakar yg adil' berupa emas dan perak.

Karena kemudian ada kaidah agar kita “menjaga harta yang telah dikumpulkannya dari berbagai resiko yang dihadapi” sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits Riwayat Muslim, maka tentu saja kita akan memilih yang no (2) yaitu emas ataupun perak. Apalagi kemudian, selain kita menyimpan Dinar untuk membangun ketahanan ekonomi rumah tangga, juga dimaksudkan untuk mempersiapkan dinar sebagai alat tukar yang fitrah, untuk digunakan nanti ketika Islam makin tegak memakmurkan bumi. Alangkah bagusnya.

Kita malah bisa jatuh ke dalam kedzaliman jika menyimpan hasil jerih payah kita dalam bentuk uang kertas (contoh tabungan) yang sebetulnya menghancurkan ketahanan ekonomi kita.

Mengenai menumpuk harta, benar adanya bahwa ada kaidah yang melarang untuk menumpuk harta dan membiarkannya berputar di kalangan yang mampu saja (Al-Hasyr : 7), sehingga jika kita memiliki harta berlebih, boleh pula dialokasikan utk membiayai / memodali usaha di sektor riil yang produktif, dimana manfaatnya dirasakan langsung secara luas ke masyarakat.

Namun jika tak bisa, Islam juga telah menyiapkan mekanismenya, yaitu dipungutnya zakat. Setiap 20 Dinar yang tersimpan setahun, atau Dirham (perak) sebanyak 200 Dirham, maka kita wajib dipungut 2,5% nya untuk disalurkan ke masyarakat melalui lembaga amil zakat (LAZ) yang credible.
Jadi itulah indahnya, Islam membebaskan kita dengan berbagai pilihan pengelolaan harta, termasuk menyiapkan rambu-rambu untuk setiap pilihannya, juga menetapkan mekanisme aliran hartanya. Semuanya dibingkai dalam keagungan pengabdian pada Allah.

Allahua'lam.

Jangan Lupa Zakat !


Zakat, yang makna secara bahasanya adalah berarti ‘berkah, tumbuh, bersih dan baik’, sekalipun dibahas di dalam pokok bahasan peribadatan, karena dipandang bagian yang tidak terpisahkan dari shalat, sesungguhnya merupakan bagian system social-ekonomi Islam, dan oleh karena itu dibahas di dalam buku-buku tentang strategi hukum dan ekonomi.

Jika ekonomi modern (baca : ekonomi kapitalis) memandang bahwa BUNGA (interest) adalah pelumas yang memuluskan kerja elemen-elemen ekonomi, Islam memiliki mekanisme ZAKAT yang tidak hanya menjawab persoalan gap-kesejahteraan yang terjadi di masyarakat dalam jangka pendek, namun juga sesungguhnya menghidupkan perekonomian dalam jangka panjang. Dana zakat yang dikumpulkan, dikelola dan disalurkan dengan professional oleh lembaga amil yang amanah akan membawa manfaat lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian para mustahik (penerima zakat), namun bisa mewujudkan perbaikan ekonomi di segala lini secara menyeluruh.

Sebagaimana kita ketahui, objek zakat sebagaimana diuraikan di Al-Quran surat At-Taubah : 60 adalah para fakir dan miskin, pengurus zakat, muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang terlilit hutang, untuk perjuangan di jalan Allah dan para ibnu sabil (yang sedang dalam perjalanan). Solusi zakat bagi seluruh mustahik ini adalah langkah ‘penyembuhan’ dan ‘penyeimbangan’ ekonomi. Kondisi masyarakat yang makin sejahtera dan mandiri adalah landasan utama ekonomi yang baik, makmur dan mensejahterakan. Dengan menggabungkan zakat dengan berbagai aktivitas penggerak ekonomi Islam yang lain, maka ekonomi negara akan berjalan baik dan ekonomi berbasis riba akan tersingkir secara sendirinya.

Terlebih lagi kategori “perjuangan di jalan Allah” sebagaimana penjelasan Dr. Yusuf Qardhawi di kitab “Hukum Zakat” sesungguhnya dapat diperluas ke berbagai keperluan, semisal layanan kesehatan untuk masyarakat miskin, bantuan ke lokasi bencana alam, layanan pendidikan gratis ataupun beasiswa bagi masyarakat tak mampu, pengentasan kemiskinan para gelandangan, peningkatan skill para pelaku usaha kecil, maka dapat kita bayangkan betapa luas dan luar biasanya manfaat zakat. Dan kita makin memahami dan meyakniki betapa Islam begitu lengkap dan sempurna dalam memberikan solusi permasalahan manusia.

Sebagai sebuah simpanan / harta, Dinar juga adalah objek zakat. Syariat mewajibkan zakat untuk emas dan perak jika berbentuk UANG, LEBURAN LOGAM (TIBR), dan juga jika berbentuk BEJANA, SOUVENIR, UKIRAN atau PERHIASAN. Alasan wajibnya zakat uang (emas dan perak, atau Dinar dan Dirham) ada pada QS At-Taubah : 34 – 35 dan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah yang singkatnya berbunyi “Tiadalah bagi pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan haknya untuk menzakatkan keduanya, melainkan di hari kiamat ia didudukkan di atas pedang batu yang lebar dalam neraka, maka dibakar……”

BESAR ZAKAT UANG EMAS DAN PERAK : Sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum Muslimin atas kewajiban zakat uang, maka telah disepakati ukuran besaran zakatnya sendiri, baik untuk Dinar maupun Dirham yaitu 2,5%, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mughni dimana Rasulullah SAW menyebutkan “pada riqqah 2,5%”

NISAB : Nisab berarti kepemilikan harta senilai minimal tertentu yang membuat pemiliknya tergolong ‘mampu’ dan karena itu kemudian kepadanya ‘wajib berzakat’. Perhitungan harta yang disimpan dalam bentuk Dinar dan Dirham lebih mudah dihitung, karena hukum asal perhitungan zakat harta dalam bentuk uang adalah dalam Dinar dan Dirham.
Nisab emas adalah 20 Dinar (atau setara 4,25 x 20 = 85 gram emas), dan nisab perak adalah 200 Dirham (atau setara 2,975 x 200 = 595 gram perak).
Mengenai nisab diatas diterangkan dalam berbagai hadits yang diriwayatkan Hasan Basri, Atha, Az-Zuhri, Sulaiman bin Harb, Ayyub dan Sakhtani.

Hadits yang paling jelas adalah riwayat Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib “Bilai kau mempunyai 200 Dirham dan sudah cukup masanya setahun, maka zakatnya adalah 5 Dirham. Dan emas hanya dikenakan zakat bila sudah mencapai 20 Dinar dan masanya cukup setahun, maka zakatnya adalah 0,5 Dinar”

Demikian Islam mengatur Zakat Dinar dan Dirham.

Dan menyimpan Dinar serta Dirham secara berlebihan, diluar yang diperuntukkan sebagai rencana jangka panjang keluarga, sesungguhnya tidak termasuk yang dianjurkan. Islam justru menganjurkan simpanan itu dibuat produktif dan dikembangkan. Bahkan Nabi SAW pun memerintahkan agar harta yang dikelola untuk anak yatim-pun diputar agar berkembang. Jika tidak, Islam punya mekanisme ‘memaksa’ harta itu dikeluarkan agar harta itu beredar di masyarakat, yaitu dengan mekanisme ZAKAT.