GOLD PRICE IS IN YOUR HAND!!

Unduh gratis aplikasi pemantau harga emas kami, untuk pengguna BlackBerry klik http://www.salmadinar.com/ota dan pengguna Android klik http://www.salmadinar.com/android langsung dari device Anda

24hr Gold Dinar Chart

24hr Gold Dinar Chart

Senin, 28 Februari 2011

SERVIS M-DINAR KINI LEBIH DEKAT DENGAN ANDA



Assalamualaikum

Rekan2, selain investasi Perak Dirham dg cara mencicil sedikit-demi-sedikit (lalu konversi ke Dinar setelah cukup), pentahapan pemilikan Dinar emas juga bisa dilakukan dengan cara M-Dinar maupun Cicil Emas.

Kami informasikan bahwa mulai pekan lalu, Salma Dinar telah menjadi service point resmi M-Dinar. Kerjasama di hulu tetap antara Gerai Dinar dengan Baitul Maal Wattamwil Daarul Muttaqien - Depok.

Bagi yang belum familier, M-Dinar adalah semacam tabungan Dinar. Sebagian rekan menganggap ini seperti Cicil Dinar. Mungkin mirip tapi tak sepenuhnya sama.

M-Dinar tidak berbatas waktu, tidak ada kewajiban menabung harus selesai dalam bbrp bulan.
Kapanpun bebas. Dan jika tak hendak diambil, Dinar maupun uang yg disetor tetap stay di rekening nasabah. Persis seperti tabungan dg rekening di bank.

M-Dinar memberi solusi bagi siapapun yg tak cukup punya dana untuk memiliki langsung 1 keping, dan juga memberi solusi atas permasalahan keamanan simpanan emas jika harus stay di rumah.

Berikut ini kami sampaikan langkah-langkah untuk mulai investasi di M-Dinar :
1. Masuk ke www.salmadinar.com, di sebelah kanan atas ada logo M-Dinar. Silakan klik
2. Ikuti proses signup di dalamnya
3. Nasabah akan dikirimi email utk aktivasi akun M-Dinarnya
4. Memulai setoran. Setoran pertama senilai 0,25 x harga Dinar pada saat transfer
5. Lanjutkan setoran (terserah kapan) senilai 0,10 x harga Dinar pada saat transfer
6. SMS / call ke 0811 942 554 untuk konfirmasi telah melakukan transfer
7. Rekening nasabah bisa dilihat di website M-DInar utk tahu perkembangan masing2.

Demikian informasi ini kami sampaikan.

Wassalam

Dirhamsyah
YM : syahdirham@yahoo.com
HP : 0811 942 554
PIN : 21B019D4

Minggu, 27 Februari 2011

Indonesians Go Back to Dirham, Dinar : It’s even more than investment. It is for upholding Islamic Law


Artikel asli berada di link ini : http://www.onislam.net/english/news/asia-pacific/451253-indonesians-go-back-to-dirham-dinar.html

Indonesians Go Back to Dirham, Dinar
by Dandy Koswaraputra, OnIslam Correspondent

Saturday, 26 February 2011 13:53

JAKARTA – Seeing it as a source of security amid global economic instability, Indonesians are returning back to traditional Islamic currently in their daily transactions.

“I’ve chosen dinar because of it is safe and stable,” Hardjito Warno told OnIslam.net on Saturday, February 26.

The Indonesian man has been collecting gold dinars as a long-term investment since 2006.

He is now holding more than 50 coins on his deposit box, which he sometimes uses for certain purposes, such as paying education fees and health insurance.

“Dinar is very liquid so I can use it for multiple purposes,” Warno said.

Dinar and silver dirham are available in shops in the world’s most populous Muslim country.

For collecting the Islamic coins, Warnoh regularly buys dinars from an agent in Jakarta.

“Sometimes I use dinar for transaction as Rosul-Allah teaches us,” Warno said.

There are at least 46 coin shops in the capital Jakarta and its surrounding cities, making it accessible for consumers to buy.

“In certain communities and areas the transaction using dinar and dirham have been applied,” he added.

The dinar measures 4.25 grams of gold, while the dirham is 3.0 grams of pure silver.

A golden coin is equivalent to about 582 ringgit (183 dollars) while the silver coin is worth around 13 ringgit but their values fluctuate according to market prices.

Shield

Some Indonesians see dinars and dirhams as the best way of protection against economic fluctuations.

“I would say those who put billions rupiah of idle money in conventional banks are the losers and oppressors,” Endy Kurniawan, the author of a book titled “Think Dinar”, told OnIslam.net.

For some business people, putting cash in financial institutions is not the best way to invest money due to inflation and tax obligation.

“If we’re putting money in conventional bank then how much it could boost economic growth,” he asked.

The interest rates for depositing money in banks is six percent a year in average, while the inflation rate in Indonesia is one or two percent higher, according to the Indonesian Statistic Body.

Gold, which is typically most stable and liquid commodity, has traditionally been favorite jewelry for Indonesian housewives and become the best reliance for Muslims at needy situation, to sell or pawn.

“People have their own logic and consideration to decide, which one is better to protect their assets: holding gold or saving money,” Kurniawan added.

According to him, there is no specific data of how much dinar circulation in Indonesia.

Indonesia is the world’s 37st biggest gold reserves country, which is spread in a number of its big islands, such as, Sulawesi, Papua, Sumatra and Borneo; and about 18,500 tons have been produced to be fine gold and jewelry, according to data state own company PT Aneka Tambang.

Some Indonesians see the point of using dinars as part of efforts to uphold Shari`ah (Islamic law).

“It’s even more than investment. It is for upholding Islamic law,” Kurniawan said.

“It’s the weakness of using paper currency; using gold dinar would be fairer,” he added.

Fauzan Al-Anshari, director of the Islamic Study Institute, agrees.

“This is part of upholding Islamic law,” he said.

He hopes that the mushrooming dinar usage in Indonesia will inspire other countries to consider the establishment of using-dinar caucus countries, as a stepping stone of global economic reform.

“I suggest, Indonesia and any other Muslim countries, such as Pakistan, Malaysia, Brunei and Middle East countries to implement the usage of dinar as currency,” he said.

“If we want to be involved in creating economic prosperity then we must start from ourselves.”

Wassalam

Kamis, 17 Februari 2011

TANPA RENCANA, INVESTASI BISA BERUJUNG BENCANA


Jangan gara-gara begitu semangatnya berinvestasi, seluruh dana yang dipunya dialokasikan secara membabi buta.
Jangan gara-gara kena “gold fever” (demas emas), lalu seluruh dana hijrah kesana.

Kesalahan umum yang dilakukan ketika seseorang mendapatkan pesangon dalam jumlah besar (dana pensiun normal, pensiun dipercepat, atau klaim asuransi) adalah mengalokasikannya ke dalam investasi pasif seperti Deposito, Reksadana, Obligasi / Sukuk, Property atau Emas. Atau yang semi-aktif seperti Saham. Padahal kita perlu biaya untuk menutup kebutuhan sehari-hari yang biasanya dicover gaji.

Meski itu wajar,karena rata-rata kita ingin shortcut mendapatkan hasil besar dari investasi, tak mau repot.
Hati-hati, jika salah, dana pesangon bisa habis dalam waktu cepat karena di-consume serampangan. Kenali tujuan dan orientasi waktunya dulu.

Berikut ini kadiah sederhana.

Anda yg berada di kategori (1) harus lebih hati-hati. Kategori (2) bersyukurlah karena lebih fleksibel.

1. Yang mendapatkan dana/pesangon adalah yg selama ini jadi tulang punggung penghasilan keluarga (main income, biasanya suami)
a. Bagi yang telah punya sumber penghasilan lain (misal telah punya penghasilan dari bisnis sampingan)
>> Alokasikan dana untuk menambah modal sebesar 40% (mungkin buka cabang, tambah pegawai, tambah kamar kontrakan). Ini sdh jadi active income.
>> Alokasikan dana di investasi pasif (reksadana, atau surat berharga lainnya) sebesar 60% untuk mendapatkan pemasukan tambahan 3 bulanan, atau 6 bulanan atau 1 tahunan (berupa bagi hasil / deviden, margin, dll) plus dana cadangan (seperti emas / logam mulia / dinar)

b. Bagi yang belum punya sumber penghasilan lain
>> Alokasikan dana cash sebesar 3 – 12 bulan tunai utk biaya hidup, tanpa merubah pola konsumsi (sama dg yg selama ini dijalani). Waktu 3 – 12 bulan ini utk memberi waktu Anda membuka usaha atau melamar kerja di tempat lain.
>>Sisanya, alokasikan :
• 40% untuk merintis usaha (jika akan membuka usaha)
• 60% untuk investasi pasif utk mendapatkan pemasukan tambahan

2. Yang mendapatkan dana/pesangon adalah yg selama ini sifatnya side income
o Asumsinya, dana dari pasangan Anda telah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga bulanan
o Jika pola konsumsi tak berubah (kebutuhan dana telah tercukupi), alokasikan secara fleksibel :
>> 50% utk investasi aktif (buka toko, konveksi, toko online, dll)
>> 25% utk investasi semi-aktif (saham misalnya)
>> 25% untuk investasi pasif / dana cadangan (reksadana, emas, dll)
o Jika pola konsumsi berubah meningkat, Anda bisa gaji diri sendiri dg mengambil dana tunai yg diletakkan di akun terpisah. Selebihnya baru diinvestasikan.

Semoga bermanfaat

Selasa, 08 Februari 2011

TREND C3000 – HATI-HATI JEBOL DOMPETMU !


Di gaulnya para Marketer, bersliweran istilah C3000 menjelang awal tahun ini. C3000 = Consumer 3000. Pada 2011, untuk pertama kalinya GDP/kapita (nominal) Indonesia diperkirakan bakal menembus angka US$3000. Angka 3000 dari Consumer 3000 diambil dari sini.

Apa istimewanya angka GDP/kapita $3000? Melihat pengalaman negara lain, $3000 adalah angka batas (treshold) suatu negara yang akan masuk dalam jajaran negara maju. Ambil contoh Korea Selatan. Begitu Korea Selatan mencapai level angka GDP/kapita $3000, negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat secara terus-menerus selama 11 tahun. Demikian juga Cina yang benar-benar melesat ekonominya setelah berhasil menembus GDP 3000 pada 2008/2009.

Kenapa bisa begitu? Karena lapis masyarakat kelas menengah (middle class) dari negara yang GDP/kapita-nya menembus $3000 sudah begitu besar, sehingga kelompok ini menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi yang sangat powerful. Di samping memiliki buying power yang tinggi, Consumer 3000 juga more educated, more knowledgable, more civilized. Mereka lebih modern, memiliki global mindset, mereka juga lebih technology savvy yang haus gadget. Secara natural dan pelan tapi pasti, mereka akan menjadi konsumen yang lebih health-conscious dan environmentally-concern.

Lalu benarkah Indonesia akan menikmati masa-masa indah sebagaimana negara lain ketika GDP 3000 terlampaui? Belum tentu. Ada sekitar 10 trends yang terjadi di seputar tembusnya angka tersebut. Biarpun seluruhnya indikator yang menyemangati kita, seluruhnya juga adalah penanda di sektor konsumsi semata. Namanya saja Consumer 3000.

Sementara ada sisi lain yang lewat dari pengamatan yakni aspek produksi yang besar perannya sebagai tulang punggung ekonomi suatu negara. Tanpa konsumsi dan produksi tumbuh beriring, mustahil kita bisa mempertahankan keunggulan ekonomis Indonesia sebagai sebuah negara dengan SDM sangat besar, sumber daya alam melimpah, sumber energi tanpa batas. Persis seperti tulisan saya sebelumnya yang mengambil tema “EKONOMI DEINDUSTRIALISASI, AYAM (JANGAN) MATI DI LUMBUNG PADI”

Majalah Economist edisi 12 Februari 2009 mendefinisikan kelas menengah ini adalah mereka yang memiliki pendapatan “menganggur” (disposable income) 1/3 dari keseluruhan pendapatan. Disposable income inilah yang mereka pakai untuk membeli produk dan layanan “advance” seperti mobil, AC, lemari es, TV flat, gadget terbaru, layanan perbankan dan asuransi, berwisata ke luar negeri, nongkrong di cafe, hingga konsumsi broadband internet.

Data ini perlu disikapi dengan bijak, bagaimana kita mengarahkan ‘disposable income’ tersebut. Kita tergerak menjadi konsumtif atau giat berinvestasi? Melihat peluang wirausaha yang terbuka lebar, (seharusnya) kita pilih yang kedua.

Mari kita urai satu per satu.

1. Democratize Consumption - Dana menganggur untuk apa ?
Booming geliat ekonomi yang terjadi di sekitar kita menyampaikan dendang nada yang sama : mudahkan belanja, mari shopping dimana saja. Meski gerak ekonomi tertolong tingkat konsumsi, kita berharap naiknya daya beli ini bukan didorong berbagai kemudahan yang diberikan oleh perbankan dalam bentuk hutang konsumsi. Yang terjadi sekarang, kita cemas melihat keadaan, benarkah euphoria konsumsi ini adalah gambaran daya beli masyarakat yang sesungguhnya?

Bukankah kita sibuk menolak berbagai tawaran kredit dalam bentuk SMS maupun telepon setiap harinya? Bukankah kartu kredit baru dengan limit yang naik berlipat tiba-tiba datang di hadapan kita siap digunakan, padahal kita tak pernah melakukan aplikasi sebelumnya? Bukankah tawaran cicilan dengan bunga 0% terpampang dimana-mana, di department store, trade center kelas bawah hingga showroom perhiasan dan elektronik kelas atas, bahkan juga datang menggoda lewat koperasi karyawan dengan fasilitas potong gaji langsung sehingga sulit menolaknya? Semua membuat silau dan melenakan, hingga tiap keluarga mulai abaikan kaidah jumlah hutang tak boleh lebihi 30% dari total pendapatannya.
Pada beberapa tulisan sebelumnya kita juga telah menyinggung bahwa 70% ekonomi di negeri ini digerakkan konsumsi (30% sisanya sektor produksi), sebuah komposisi yang kurang pas bagi fundamental perekonomian. Korea, China & India seimbang konsumsi & produksinya. Industri mereka kuat lebih dulu sebelum terjadi ledakan konsumsi di dalam negeri. Berkebalikan dengan pasar Indonesia yang sekarang dikuasai barang-barang impor, karena lebih murah dibanding produksi domestik menunjukkan tidak cukup kuatnya produksi dalam negeri menopang transaksi.
Produksi India, Korea dan China juga meluber kemanapun arus impor terjadi, membanjiri pasar-pasar domestik negara timur dan barat tanpa bisa dibendung lagi.
Pendeknya, masyarakat kita hanya jadi objek. dipermudah dengan kredit konsumtif untuk belanja. Keadaaan ini jangan membuat kita terlena. Belum lama, pada tahun 2008, krisis lokal yang jadi pemicu krisis setengah isi dunia, diawali kredit perumahan yang macet di Amerika. Penyebabnya sektor konsumsi. Subprime Mortgage itu kredit yang diberikan kepada lapisan masyarakat yang kurang mampu. Karena sektor keuangan euforia, syarat-syarat kredit dimudahkan, objek investasi yakni perumahan justru jatuh harganya. Lalu debitur kelihatan ‘aslinya’, tak mampu bayar cicilan, lalu perusahaan di sektor keuangan terlibas bergantian.
Menjelang krisis moneter 1997 – 1998, sektor konsumsi kita juga sedang digdaya. Di sisi lain, boroknya terbuka : produksi dalam negeri lemah, terlalu banyak impor, hutang-hutang perusahaan dalam negeri berbentuk USD, sehingga begitu moneter terguncang, habislah semua.

2. Era Satu Miliar Wirausaha – Sudah Siap Mental kah kita ?
McKinsey&Co. menyebut bahwa Nantinya akan banyak profesional dan pekerja kantoran yang sudah cukup disposable income-nya akan nyambi menjadi entrepreneur dengan berinvestasi di bisnis franchise. Pilihan lain mereka terjun secara full-time menjadi social media entrepreneur. Dua investasi di atas jadi pilihan karena low risk – low capital. Barrier untuk masuk ke bisnis pun mengecil. Tapi negeri kita punya persoalan mentalitas. Seandainya mental wirausaha masyarakat kita tinggi, tiap individu yang punya dana siap invest jadi motor ekonomi yg besar sekali jumlahnya. Sayangnya, pemuda negeri ini lebih memilih menjadi orang upahan karena keren dan terlihat mapan. Yang melangkah berbisnis sering terbentur berbelitnya pengurusan pendirian badan usaha, pungli sana-sini dari kelurahan hingga pemerintah propinsi, dan lainnya.
Dengan tembusnya $3000, maka konsumen jenis baru ini akan tumbuh dengan pesat dan akan mewarnai pembelian dan konsumsi produk dan layanan di berbagai industri. Masyarakat Indonesia, sebagai yang paling berhak menikmati hasil dari geliat ekonomi bangsanya sendiri, seharusnya mengambil peranan lebih dari sekedar objek dan target konsumsi semata. Untuk itu, ada 2 PR besar di level negara dan individu agar kita bergembira di negeri sendiri yaitu :

- Negara : buka lebar peluang berusaha, mudahkan izin usaha (termasuk kebijakan pajak lebih lunak bagi pengusaha kecil),lunakkan syarat kredit usaha. Ini semata untu menguatkan sektor produksi, mengimbangi ledakan konsumsi.

- Pribadi : hati2 tawaran utang konsumsi. Tersedianya disposable income justru harus mendorong masyarakat berinvestasi. Pilih sektor riil yang punya daya ungkit terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat. Jika tidak, pilih produk investasi yang benar-benar memberikan perlindungan terhadap masa depan ekonomi yang tak pasti, dalam emas atau reksadana syariah misalnya.

Wallahua’lam