Salma Dinar adalah distributor Dinar, Dirham dan Emas batangan produksi ANTAM. Hubungi kami & SentraDinar untuk mengikuti PROGRAM KHUSUS CICIL DINAR & EMAS BATANGAN - FLAT RATE, KERJASAMA DENGAN BANK SYARIAH MANDIRI
GOLD PRICE IS IN YOUR HAND!!
Unduh gratis aplikasi pemantau harga emas kami, untuk pengguna BlackBerry klik http://www.salmadinar.com/ota dan pengguna Android klik http://www.salmadinar.com/android langsung dari device Anda
24hr Gold Dinar Chart
Minggu, 28 November 2010
THE GOLDEN CONSTANT (BAGIAN 2 : PENGUASAAN ATAS EMAS, SATU LANGKAH MAJU KE KEJAYAAN MASA LALU)
Kabar baik bagi kita adalah dari seluruh emas yang telah ditambang di muka bumi yakni sekitar 150.000 – 160.000 ton, 70% - 90% dikuasai swasta, termasuk individu/ perorangan. World Gold Council menyebut angka sekitar 100.000 ton emas dikuasai swasta, pada 2005. Sementara sisanya dikuasai oleh 109 negara sebagai cadangan di bank sentral-nya. Laporan lembaga yang sama pada September 2010 menyebutkan jumlahnya sekitar 27.000 ton.
Sebagaimana tulisan pada bagian pertama pekan lalu, penguasaan mayoritas stok emas dunia oleh non-pemerintahan ini adalah salah satu sebab mengapa kembalinya gold-standard sebagaimana era Bretton Woods diprediksi sulit terwujud. Menurut Martin Wolf, analis ekonomi senior The Financial Times, proses akuisisi emas masyarakat ini akan memakan berbagai macam biaya yang luar biasa dan bisa menimbulkan kekacauan.
Jauh lebih mungkin, jika saatnya tiba, terjadi pertukaran langsung emas-emas simpanan masyarakat untuk transaksi sehari-hari. Jumlah 100.000 ton yang beredar adalah jumlah yang sangat banyak. Seandainya pun tak dalam bentuk koin yang standard, masyarakat cukup menggunakan emas dalam bentuk apapun, disertai timbangan untuk pengukur berat. Praktek ini sebagaimana jaman awal Rasulullah SAW bertransaksi menggunakan emas, alat transaksinya adalah emas dalam berbagai bentuk (koin, lempengan/ tibr) dan telah mencukupi.
Kita tahu, emas adalah bahasa transaksi universal. Kita pernah bahas sebelumnya, salah satu item survival kit pilot tempur Amerika adalah sepotong emas. Kawan saya Ahmad Gozali, ketika sesi workshop investasi emas sering menyampaikan penggalan sebuah film dengan setting di sebuah negara komunis. Prajurit Amerika yang perlu tumpangan tak bisa membayarnya dengan US Dollar karena penduduk setempat tak tertarik mata uang asing itu. Tapi deal terjadi setelah si agen bersedia membayarnya dengan jam tangan terkenal berlapis emas.
Selama 1500 tahun kejayaan Islam menerangi bumi, ekonomi kekhalifahan berada di standar yang sangat tinggi. Bahkan menjelang rapuh dan runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani sekalipun, indeks harga dan kesejahteraan warga negaranya masih lebih baik dari Inggris yang berdiri sejaman.
Kemanapun reformasi moneter ini membawa nanti, kita perlu bersiap diri dari kini. Perhatikan grafik 10 besar penguasa emas dunia pada gambar. Dari 10 negara yang memiliki cadangan emas terbesar, hanya 3 negara yaitu China, Rusia dan Amerika sendiri yang juga merupakan 10 besar negara penghasil emas. Selebihnya adalah negara-negara barat non-produsen emas, yang dengan disiplin dan kesadaran penuh, mereka tahu tapi diam-diam saja, justru menyimpan harta hakiki itu dalam dekapan negaranya, meskipun dalam keseharian mereka terlihat sibuk mengkampanyekan anti-gold standard.
Dari grafik, kita juga bisa menyimpulkan satu hal yakni kecilnya kesadaran negara-negara penghasil emas utama untuk mempertahankan emas yang ditambang dan diolah di negaranya sendiri, sehingga tak cukup menyimpan untuk pertahanan ekonomi negaranya. Mereka memilih untuk menjadi penambang dan eksportir, tapi tak menjadikan emas sebagai cadangan ekonomi negaranya, kecuali sedikit saja.
Negeri ini seharusnya memberi penghargaan kepada masyarakat yang secara individual berupaya menyimpan emas di rumah tangganya masing-masing, yang jika dijumlahkan akan menghasilkan angka simpanan emas yang sangat besar dan mengindikasikan ketahanan ekonomi riil masyarakat Indonesia. Seandainya warga negara yang hidup di atas ambang kemiskinan (artinya secara ekonomi cukup mampu) yaitu 70% dari total penduduk Indonesia memiliki 1 gram emas, maka jumlah emas minimal yang dimiliki rakyat Indonesia berjumlah 168 ton. Angka ini telah 2 kali lipat lebih dibanding cadangan emas yang dimiliki bank sentral.
Seandainya 1 orang menguasai 1 Dinar (emas dengan berat 4.25 gram), maka cadangan emas yang berada di kantung masyarakat Indonesia berjumlah 714 ton. Dijumlahkan dengan cadangan devisa Bank Indonesia yang sekitar 75 ton, maka Indonesia akan berada di posisi ke-8 penyimpan emas mengalahkan Jepang.
Sosialisasi penguasaan emas ke tangan masyarakat ini, bagi saya pribadi, adalah upaya pertahanan sekaligus persiapan menyongsong masa depan. Pertahanan untuk melindungi harta dan asset masyarakat. Persiapan masa depan untuk sebuah reformasi (mungkin juga revolusi, gerakan perubahan radikal) sistem moneter dunia dengan medium emas, juga perak. Seluruh negara dan masyarakat negara lain, secara terbuka maupun diam-diam melakukannya dengan penuh kesadaran. Sebagai negara dengan cadangan emas melimpah, mengapa kita tidak melakukan hal serupa?
Dengan jumlah cadangan emas yang memadai, ekonomi negeri kita punya sandaran hakiki, layak adu tanding dengan dengan negara-negara ekonomi kuat lainnya. Ini jadi modal yang cukup untuk menopang prediksi banyak riset yang menunjukkan Indonesia akan berada dalam posisi 10 besar ekonomi terkuat dunia pada 2020 dan 5 besar pada 2030.
Wallahua'lam
Minggu, 21 November 2010
THE GOLDEN CONSTANT (Bagian 1 : BRETTON WOODS MUNGKIN (TAK) KEMBALI)
Written by Endy Junaedy Kurniawan
Berapa banyak uang beredar di muka bumi? Laporan McKinsey Global Institute pada 2008 menyebut angka USD 61.000 Trilyun. Karena dirilis tahun 2008, maka itu berarti tak termasuk rentetan stimulus yang kemudian diakhiri dengan USD 600 Milyar yang sebulan lalu dikeluarkan Amerika melalui The Fed.
Berapa nilai emas yang ada di muka bumi? Sekitar USD 1.300 Trilyun. Saya tak mention dengan rupiah karena sulit menuliskan satuannya. Terlalu panjang angka nolnya.
Dua angka tersebut membawa kita ke masa 1944 – 1971 dimana Gold Standard diberlakukan dengan payung Bretton Woods Agreement. Kala itu dimana 35 Dollar yang dicetak/dikeluarkan bank sentral Amerika haruslah dengan backup 1 troy ounce emas, uang yang beredar adalah kurang lebih sama dengan nilai emas yang ada di bank sentral di seluruh dunia.
Yang terjadi sekarang adalah jumlah uang kertas telah dicetak 46 kali lebih banyak dari yang seharusnya (USD 61.000 Trilyun dibagi nilai emas USD 1.300 Trilyun). Inilah makna FIAT MONEY itu, uang kertas dicetak sangat banyak, suka-suka, tanpa mencerminkan jumlah kekayaan atau asset riil berupa emas yang dimiliki negara-negara yang disimpan bank sentral masing-masing.
Akibatnya adalah keuntungan dinikmati si pencetak reserved currency (USD). Stagnansi ekonomi yang mereka alami, sebagaimana terjadi sekarang dimana produksi dan konsumsi dalam negerinya mandeg, yang kemudian membuat mereka mencetak uang baru, hanya (mungkin) menguntungkan di sisi mereka. Mungkin, karena belum tentu stimulus ini berhasil mengangkat ekonomi dalam negerinya. Yang justru pasti adalah seluruh negara berlomba menurunkan nilai mata uangnya demi bisa bersaing untuk pasar ekspornya. Yang pasti lagi adalah membuka kemungkinan hyperinlasi terjadi di negara-negara berkembang yang tak tahu menahu, bahkan mungkin tak terlibat awalnya dengan pertarungan ekonomi tingkat tinggi tersebut. Yang jadi korbannya adalah kesejahteraan masyarakat di negara berkembang, karena hyperinlasi berarti menurunnya daya beli uang simpanan mereka sebanyak 2 digit persen.
Selain itu, biaya 4 sen Dollar (atau 0.04 Dollar) untuk mencetak setiap lembar USD itu pun bermakna perampokan. Stempel berapapun bisa dicantumkan di lembaran uang kertas, lalu dibuat untuk membeli lebih banyak asset di negara-negara miskin atau berkembang. Untuk membeli sebuah perusahaan teknologi di Indonesia dengan nilai Rp 5 Trilyun (USD 561 juta), hanya perlu mencetak uang pecahan USD sebanyak 5,61 juta lembar dengan biaya 4 sen x 5,61 juta = USD 22 juta sen, atau sama dengan USD 220.000. Disini praktek SEIGNORAGE bekerja. Untuk membeli perusahaan senilai Rp 5 Trilyun, produsen USD hanya perlu Rp 1,9 Milyar biaya cetak uang.
Data tentang nilai uang riil (yaitu emas) vs nilai uang (kertas) yang ada sekarang itulah yang membuat banyak ekonom meragukan Bretton Woods jilid II yang diwacanakan Robert Zoellick, bos World Bank, mustahil terlaksana. Karena jumlah uang beredar sudah sedemikian besar melebihi yang seharusnya, implementasi Gold Standard Currency seperti pernah dipraktekkan dulu akan membawa kompleksitas sistem global. Simpanan setiap bank sentral juga tak seimbang. Semenjak Perang Dunia I, Amerika lah yang menyimpan emas paling banyak. Dengan situasi ini, harus ada negara yang rela seluruh harga barangnya naik. Di sisi lain, harus ada sebagian negara yang harus bersedia seluruh harganya diturunkan. Reposisi dan keseimbangan baru itu akan berbiaya sosial sangat besar, melibatkan seluruh negara dan masyarakat di dalamnya.
Salah satu sebab lain Bretton Woods sulit dijalankan adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh bank sentral untuk mengumpulkan emas domestik maupun internasional (sebagai backup pencetakan uang dengan standar emas) akan sangat besar. Dengan sistem ini, maka pemilik emas akan menjual emasnya kepada bank sentral, yang jelas memerlukan lebih banyak backup untuk pencetakan uang baru. Biayanya akan sangat besar, dan karena permintaan meningkat drastis, harga emas akan melonjak sangat tinggi. Ujungnya, pemilik emas bisa menilai harga yang ditetapkan tak setinggi yang seharusnya dan mereka memilih menyimpan saja emas-emas yang telah dimiliki. Wajar, karena sejak semula, emas adalah penakar nilai dan alat tukar yang universal, maka penyimpan emas merasa lebih safe dan untung jika menyimpan emas untuk melindungi asetnya juga untuk membeli barang kebutuhan. Pada titik ini terjadi kekacauan dan orang tak memerlukan lagi uang kertas, dan dunia kembali pada masa dimana emaslah yang menjadi alat transaksi. Inilah masa pada periode dengan rentang 1.500 tahun semenjak Dinar dan Dirham ditetapkan khalifah Umar ibn Khattab hingga runtuhnya kedaulatan Islam pada masa Turki Ustmani.
Uraian diatas dituliskan dengan gamblang oleh Martin Wolf, kontributor The Economist, seorang Profesor di University of Nottingham yang juga Chief Economics Commentator di Financial Times – London.
Pada sebuah tulisannya, ia mengutip juga pernyataan Bennett McCallum dari Carnegie Mellon University yang menyatakan bahwa kesadaran kembali ke alat tukar berupa emas (sebagaimana pada tahun-tahun sebelum 1930-an) diawali dengan tingkat pemahaman agama/ religiusitas yang cukup tinggi. Karena hanya ajaran agama saja yang memberikan penjelasan bahwa “nilai emas tidak pernah berubah, ia tetap dan terjaga selamanya’ (the price of gold should not be varied but should maintained, forever).
Dan kita tahu, Islam adalah agama yang melalui firman dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW, mengajarkan keyakinan ini kepada kita. Sejatinya, hal-hal seperti ini harus terus kita bangun mulai saat ini.
Bersambung…
(Berikutnya : 90% emas di muka bumi ini ternyata dikuasai swasta, bukan oleh bank sentral. Ini kabar baik, lalu bagaimana sikap kita?)
*) Judul tulisan diambil dari buku dengan judul sama : “The Golden Constant: The English and American Experience 1560 – 2007, Roy W Jastram, Edward Elgar Publishing)
Kamis, 18 November 2010
BERAPA HARGA DINAR 10 TAHUN MENDATANG?
Written by : Muhaimin Iqbal (www.geraidinar.com)
Judul asli : "Deret Fibonacci dan Teori Peluruhan Untuk Menduga Harga Emas 10 Tahun Mendatang"
Tentang teori deret Fibonacci, saya pernah menulisnya hampir tiga tahun lalu untuk menggambarkan penurunan nilai mata uang kertas. Kemudian saya juga telah menulis tentang teori peluruhan eksponensial sekitar 8 bulan lalu untuk menguatkan hal yang sama. Kini saya akan menggunakan dua teori tersebut untuk menjawab salah satu pertanyaan pembaca setia situs ini, yaitu seperti apa kiranya harga emas sepuluh tahun dari sekarang.
Sebelum saya uraikan aplikasi dari teori-teori tersebut, perlu saya jelaskan bahwa tidak ada seorang ahli-pun di dunia yang bisa mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi di masa yang akan datang – demikian pula dengan saya. Yang saya lakukan hanyalah mengolah data statistik harga emas dan nilai tukar Rupiah, kemudian menggunakannya dengan asumsi – bahwa peristiwa-peristiwa yang akan datang – tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah pernah terjadi sebelumnya.
Untuk menduga harga emas 10 tahun yang akan datang, saya gunakan statistik harga emas dalam US$/Oz dan dalam Rp/Gram selama 40 tahun terakhir 1970 – 2010 yang sudah saya muat dalam tulisan tanggal 1 November 2010 di situs ini.
Dari statistik tersebut diatas, kita tahu bahwa seama 40 tahun terakhir – harga emas dunia rata-rata 2010 (sampai Oktober) dalam US$/Oz telah mengalami kenaikan sebesar 33 kali dibandingkan harga emas rata-rata tahun 1970; atau dalam Rupiah selama periode yang sama harga emas telah mengalami kenaikan sebesar 749 kali. Dari data ini bila kita konversikan dengan bilangan Fibonacci (perkalian 1.618) dan waktu paruh US$ maupun Rupiah (yang berarti perkalian 2.0 untuk harga emas) ; maka selama 40 tahun terakhir dapat kita sarikan dalam tabel.
· Dalam kurun waktu 1970-2010; harga emas dalam US$ telah mengalami frekwensi Fibonacci sebanyak 7.05 dan dalam Rupiah sebanyak 13.5.
· Rentang waktu (return period) dari satu titik Fibonacci ke titik berikutnya rata-rata selama 40 tahun terakhir dalam US$ adalah 5.67 tahun sedangkan dalam Rupiah 2.96 tahun.
· Dalam kurun waktu 1970-2010; harga emas bila dibeli dengan mata uang kertas telah berlipat dua (daya beli uang US$ maupun Rupiah tinggal separuh) sebanyak 4.85 kali (US$) dan 9.40 kali (Rupiah)
· Selama 40 tahun terakhir, waktu paruh rata-rata mata uang kertas adalah 8.25 tahun untuk US$ dan 4.26 tahun untuk Rupiah.
Dari rangkuman angka-angka statistik tersebut, dapat kita gunakan secara sederhana untuk menghitung berapa kira-kira harga emas sepuluh tahun yang akan datang baik dalam US$ maupun dalam Rupiah – dengan asumsi bahwa tidak terjadi pemburukan ekonomi dunia yang lebih parah dibandingkan dengan apa yang terjadi selama 40 tahun terakhir.
Dengan menggunakan pendekatan deret Fibonacci Harga Emas rata-rata 10 tahun yang akan datang dapat dihitung dari harga emas rata-rata tahun ini x kelipatan Fibonacci (1.618) ^ (10 /return period Fibonacci). Hasilnya untuk US$ adalah US$ 2,789/Oz dan dalam Rupiah adalah Rp 1,822,985/gram.
Bila kita gunakan teori peluruhan, maka harga emas rata-rata 10 tahun yang akan datang adalah sama dengan harga emas rata-rata tahun ini x 2 ^ (10/waktu paruh). Hasilnya untuk US$ adalah US$ 2,768/Oz dan dalam Rupiah adalah Rp 1, 831,898/gram.
Untuk memberi gambaran seberapa tinggi harga-harga tersebut dapat dibandingkan dengan tabungan US$ maupun tabungan Rupiah sebagai berikut :
· Bila Anda menabung US$ 1,194 tahun ini (harga rata-rata emas dunia 2010 untuk 1 Oz), dengan hasil bersih rata-rata 1 % misalnya; maka 10 tahun yang akan datang uang Anda hanya menjadi US$ 1,319. Uang yang sama yang Anda rupakan emas menjadi antara US$ 2,768 – US$ 2,789 atau naik sekitar 2.2 kali dibandingkan dengan tabungan US$ Anda.
· Bila Anda menabung Rp 359,000 (setara dengan harga 1 gram emas rata-rata tahun ini), maka bila tingkat hasil bersih rata-rata 6 % , setelah 10 tahun uang Anda akan menjadi Rp 749,000. Jumlah uang yang sama bila dirupakan emas akan bernilai antara Rp 1,822,985 - Rp 1,831,898 atau kurang lebih 2.6 kali dibandingkan yang ditabung dalam Rupiah.
Dari angka-angka diatas kita kemudian juga bisa menghitung pula bahwa harga Dinar saat itu (2020) insyaAllah akan berada di rentang rata-rata antara Rp 7,812,252/Dinar s/d Rp 7,850,445/Dinar.
Estimasi tersebut diatas adalah estimasi konservatif karena berasumsi bahwa tidak terjadi percepatan pemburukan ekonomi dunia dalam 10 tahun kedepan. Padahal kita tahu sejak beberapa tahun terakhir misalnya, daya beli US$ cenderung memburuk dengan cepat setelah berbagai langkah Quantitative Easing yang dilakukan oleh Federal Reserve-nya. Jadi lebih besar peluang harga emas dunia untuk lebih tinggi dari perhitungan-perhitungan tersebut diatas – ketimbang peluangnya untuk lebih rendah. Wa Allahu A’lam.
Senin, 15 November 2010
WORLD CURRENCIES : THE BIG RACE TO THE BOTTOM
Written by Endy Junaedy Kurniawan
Entah bagaimana ceritanya, lahir dari akal sehat ataukah refleksi kehilangan harapan, Robert Zoellick, presiden World Bank, pekan lalu menyerukan agar emas ‘dapat dijadikan referensi penentu uang dunia’. Dengan lebih gamblang ia menyebutkan bahwa ‘kita memerlukan emas sebagai acuan yang menghindarkan kita dari inflasi, deflasi serta menjadi mata uang masa depan’.
Pandangan yang ia keluarkan ini, sebuah ajakan kembali ke Gold Exchange Rate a la Bretton Woods tahun 1944, terdengar unik mengingat negara-negara maju saat ini berlomba menjatuhkan nilai mata uangnya dalam ‘balapan menuju ke dasar’ (big race to the bottom) yang bernama Currency War. Upaya sungguh-sungguh yang dilakukan para kepala negara dalam sidang-sidang marathon G-8, The Fed, G-20, APEC, sepertinya sangat serius, meskipun belum terlihat hasilnya. Dan, World Bank, melalui Zoellick, yang merupakan representasi kepentingan negara besar penguasa ekonomi dunia, menjadi kontroversial ketika mengeluarkan pandangan yang melawan arus seperti itu.
Stimulus-stimulus yang dilakukan negara-negara kuat seperti Amerika dan Jepang, adalah aktivitas yang terdengar aneh bagi yang awam ekonomi, bagaimana mungkin upaya yang disengaja untuk membuat rendah mata uang negara sendiri terhadap negara lain, disebut sebagai upaya ‘penyehatan ekonomi’. Di kacamata kita bersama, makin kuat mata uang, makin OK ekonomi suatu negara. Di situasi sekarang, tidak demikian.
Disisi lain, ajakan ini kemudian bisa jadi sangat kita maklumi mengingat kehancuran uang kertas itu begitu di depan mata, sehingga kemudian dunia memerlukan mata uang ‘baru’ yang adil sebagai alternatif alat tukar yang berlaku saat ini. Sebagian menyebut bahwa perang mata uang ini baru akan selesai dalam waktu 5 tahun - menghabiskan seluruh energi negara yang terlibat didalamnya. Atau berhenti dengan cepat, diselesaikan dengan perang dalam arti pertempuran fisik.
Kita memahami bahwa sebagian besar negara, semenjak tahun 1924 hipokrit dan penuh rekayasa. Mendua pandangan akan posisi emas sebagai sandaran kesejahteraan negara dan rakyatnya. Menerapkan berbagai kebijakan dan strategi untuk mengakal-akali dan menutupi kemilau nilai emas yang hakiki.
Pada tahun 1933, Roosevelt pernah sengaja melepaskan kurs Dollar dari harga emas internasional agar harga komoditas tak ikut naik ketika harga emas mengalami kenaikan. Sementara di dalam negeri, ia membekukan ekspor emas dan melarang warga Amerika untuk menukarkan dollar dengan emas. Kontradiktif.
Anehnya, sebagai sponsor Bretton Woods Agreement tahun 1944, Amerika yang terlihat anti emas, malah mengajak untuk memformalkan ketentuan pencetakan uang : pengeluaran 35 uang dollar (35 USD) harus terkait dengan emas 1 ons sebagai backup.
Tahun 1971, tindakan aneh kembali dilakukan. Setelah pencetakan uang besar-besaran tak terikat lagi dengan emas dilakukan oleh Amerika, Nixon mengajak untuk meninggalkan emas sepenuhnya dengan Smithsonian Agreement, maka dunia masuk ke ke era floating rate hingga kini.
Inggris pun hingga saat ini mengenakan pajak sangat besar bagi pembelian emas yaitu 17,5% untuk menghalangi penguasaan emas oleh sektor private.
Sekarang, Amerika, yang pro kebijakan moneter liberal, ternyata menyimpan 8.000 ton emas sebagai cadangan bank sentralnya. Ini melebihi penjumlahan cadangan emas Jerman dan IMF sekaligus yang ada di peringkat kedua dan ketiga.
Dari 10 negara yang memiliki cadangan emas terbesar, hanya 3 negara yaitu China, Rusia dan Amerika sendiri yang juga merupakan 10 besar negara penghasil emas. Selebihnya adalah negara-negara barat yang dengan ‘disiplin dan kesadaran penuh’ justru menyimpan harta hakiki itu dalam dekapan negaranya.
Cina adalah negara yang terus menganjurkan negaranya melalui bank sentral, maupun masyarakatnya, untuk menyimpan emas banyak-banyak. Setelah di awal krisis perumahan 2008 Cina mengimpor 200 ton, pekan lalu, inisiatif ini diteruskan dengan target 600 ton hingga akhir tahun ini, dan 600 ton berikutnya di tahun 2011.
India, Pakistan, Sri Lanka pada 2008 melakukan hal yang sama. Mengkonversi cadangan devisa dari USD menjadi emas. Agustus lalu, Vietnam melonggarkan keran impor emas agar komoditas riil itu masuk ke kantung-kantung rakyatnya. Permintaan-permintaan yang menguat dari berbagai negara ini termasuk yang mendorong tinggi harga emas mulai krisis 2008 hingga kini.
Bagaimana dengan Indonesia, negara penghasil emas terbesar ke-7 di dunia, atau oleh orang-orang barat yang ‘jujur’ Indonesia disebut sebagai peringkat 1? Yang jelas, 73.8 s.d 75 ton yang dimiliki bank sentral adalah jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan cadangan negara-negara lain, apalagi dibandingkan dengan produksi emas dalam negeri yang mencapai 7% terhadap produksi emas dunia. Hingga kini, kita belum melihat kebijakan khusus yang massive untuk memborong lebih banyak emas sebagai cadangan devisa.
***
Itulah yang terjadi sekarang, banyak negara mengajak berpaling dari emas, sementara mereka diam-diam menimbun emas untuk sandaran ekonomi negeri yang hakiki. Jika negara tak terlalu peduli, emas di kantung-kantung masyarakat-lah yang paling mungkin untuk terus ditambah secara mandiri. Penyadaran di tingkat masyarakat ini harus terus digalakkan.
Kembali ke isyu Bretton Woods Jilid-2 yang digulirkan bos World Bank. Belakangan, Zoellick mengklarifikasi ucapannya. Ia tak sedang menganjurkan agar kita kembali ke masa “Gold Exchange Rate” tahun 1944 - 1971 lalu. Yang ia ucapkan sesungguhnya ajakan untuk “mulai menyadari” bahwa ada emas yang bisa dijadikan alat tukar. Dalam banyak transaksi, ia telah melihat emas menjadi sesuatu yang wajar untuk dipertukarkan sebagai medium of exchange, karena rendahnya kepercayaan orang (terhadap mata uang kertas).
Ada persoalan mata uang yang harus diselesaikan. Dan jalan keluar itu, diakui ataupun tidak, adalah alat tukar emas. “There is elephant in the room (gold) and that is what I want people to recognize” lanjut Zoellick.
Bisa jadi, bukan “Gold Backup Currency” yang pernah lahir kemudian gagal (1944 - 1971) yang layak lahir kembali, melainkan “Real Gold Currency” berupa Dinar yang telah berfungsi baik selama 1.500 tahun yang akan menjadi solusi.
Wallahua’lam
Minggu, 07 November 2010
49 DIRHAM TERKUMPUL UNTUK MEMBANTU MENTAWAI,WASIOR dan MERAPI
Alhamdulillah, dalam periode 1 - 8 November 2010, dari program 1 MAN - 1 DIRHAM TO SAVE INDONESIA terkumpul dana senilai 49 Dirham yang sudah diteruskan ke lembaga kemanusiaan.
Untuk Mentawai diteruskan melalui PKPU (Pos Keadilan Peduli Ummat)
Untuk Merapi diteruskan melalui BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia)
Untuk Wasior diterukan melalui IMS (Islamic Medical Service) - Hidayatullah.
Mungkin tak banyak dari sisi nominal, namun insya Allah membantu banyak untuk meringankan beban saudara2 kita yang sedang diuji dengan musibah gempa bumi, tsunami, longsor / air bah dan erupsi Merapi.
Semoga berbalas kebaikan berlipat tak terhingga bagi siapa saja yang telah menyisihkan sebagian hartanya. Amiin.
Langganan:
Postingan (Atom)