Salma Dinar adalah distributor Dinar, Dirham dan Emas batangan produksi ANTAM. Hubungi kami & SentraDinar untuk mengikuti PROGRAM KHUSUS CICIL DINAR & EMAS BATANGAN - FLAT RATE, KERJASAMA DENGAN BANK SYARIAH MANDIRI
GOLD PRICE IS IN YOUR HAND!!
Unduh gratis aplikasi pemantau harga emas kami, untuk pengguna BlackBerry klik http://www.salmadinar.com/ota dan pengguna Android klik http://www.salmadinar.com/android langsung dari device Anda
24hr Gold Dinar Chart
Selasa, 08 Februari 2011
TREND C3000 – HATI-HATI JEBOL DOMPETMU !
Di gaulnya para Marketer, bersliweran istilah C3000 menjelang awal tahun ini. C3000 = Consumer 3000. Pada 2011, untuk pertama kalinya GDP/kapita (nominal) Indonesia diperkirakan bakal menembus angka US$3000. Angka 3000 dari Consumer 3000 diambil dari sini.
Apa istimewanya angka GDP/kapita $3000? Melihat pengalaman negara lain, $3000 adalah angka batas (treshold) suatu negara yang akan masuk dalam jajaran negara maju. Ambil contoh Korea Selatan. Begitu Korea Selatan mencapai level angka GDP/kapita $3000, negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat secara terus-menerus selama 11 tahun. Demikian juga Cina yang benar-benar melesat ekonominya setelah berhasil menembus GDP 3000 pada 2008/2009.
Kenapa bisa begitu? Karena lapis masyarakat kelas menengah (middle class) dari negara yang GDP/kapita-nya menembus $3000 sudah begitu besar, sehingga kelompok ini menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi yang sangat powerful. Di samping memiliki buying power yang tinggi, Consumer 3000 juga more educated, more knowledgable, more civilized. Mereka lebih modern, memiliki global mindset, mereka juga lebih technology savvy yang haus gadget. Secara natural dan pelan tapi pasti, mereka akan menjadi konsumen yang lebih health-conscious dan environmentally-concern.
Lalu benarkah Indonesia akan menikmati masa-masa indah sebagaimana negara lain ketika GDP 3000 terlampaui? Belum tentu. Ada sekitar 10 trends yang terjadi di seputar tembusnya angka tersebut. Biarpun seluruhnya indikator yang menyemangati kita, seluruhnya juga adalah penanda di sektor konsumsi semata. Namanya saja Consumer 3000.
Sementara ada sisi lain yang lewat dari pengamatan yakni aspek produksi yang besar perannya sebagai tulang punggung ekonomi suatu negara. Tanpa konsumsi dan produksi tumbuh beriring, mustahil kita bisa mempertahankan keunggulan ekonomis Indonesia sebagai sebuah negara dengan SDM sangat besar, sumber daya alam melimpah, sumber energi tanpa batas. Persis seperti tulisan saya sebelumnya yang mengambil tema “EKONOMI DEINDUSTRIALISASI, AYAM (JANGAN) MATI DI LUMBUNG PADI”
Majalah Economist edisi 12 Februari 2009 mendefinisikan kelas menengah ini adalah mereka yang memiliki pendapatan “menganggur” (disposable income) 1/3 dari keseluruhan pendapatan. Disposable income inilah yang mereka pakai untuk membeli produk dan layanan “advance” seperti mobil, AC, lemari es, TV flat, gadget terbaru, layanan perbankan dan asuransi, berwisata ke luar negeri, nongkrong di cafe, hingga konsumsi broadband internet.
Data ini perlu disikapi dengan bijak, bagaimana kita mengarahkan ‘disposable income’ tersebut. Kita tergerak menjadi konsumtif atau giat berinvestasi? Melihat peluang wirausaha yang terbuka lebar, (seharusnya) kita pilih yang kedua.
Mari kita urai satu per satu.
1. Democratize Consumption - Dana menganggur untuk apa ?
Booming geliat ekonomi yang terjadi di sekitar kita menyampaikan dendang nada yang sama : mudahkan belanja, mari shopping dimana saja. Meski gerak ekonomi tertolong tingkat konsumsi, kita berharap naiknya daya beli ini bukan didorong berbagai kemudahan yang diberikan oleh perbankan dalam bentuk hutang konsumsi. Yang terjadi sekarang, kita cemas melihat keadaan, benarkah euphoria konsumsi ini adalah gambaran daya beli masyarakat yang sesungguhnya?
Bukankah kita sibuk menolak berbagai tawaran kredit dalam bentuk SMS maupun telepon setiap harinya? Bukankah kartu kredit baru dengan limit yang naik berlipat tiba-tiba datang di hadapan kita siap digunakan, padahal kita tak pernah melakukan aplikasi sebelumnya? Bukankah tawaran cicilan dengan bunga 0% terpampang dimana-mana, di department store, trade center kelas bawah hingga showroom perhiasan dan elektronik kelas atas, bahkan juga datang menggoda lewat koperasi karyawan dengan fasilitas potong gaji langsung sehingga sulit menolaknya? Semua membuat silau dan melenakan, hingga tiap keluarga mulai abaikan kaidah jumlah hutang tak boleh lebihi 30% dari total pendapatannya.
Pada beberapa tulisan sebelumnya kita juga telah menyinggung bahwa 70% ekonomi di negeri ini digerakkan konsumsi (30% sisanya sektor produksi), sebuah komposisi yang kurang pas bagi fundamental perekonomian. Korea, China & India seimbang konsumsi & produksinya. Industri mereka kuat lebih dulu sebelum terjadi ledakan konsumsi di dalam negeri. Berkebalikan dengan pasar Indonesia yang sekarang dikuasai barang-barang impor, karena lebih murah dibanding produksi domestik menunjukkan tidak cukup kuatnya produksi dalam negeri menopang transaksi.
Produksi India, Korea dan China juga meluber kemanapun arus impor terjadi, membanjiri pasar-pasar domestik negara timur dan barat tanpa bisa dibendung lagi.
Pendeknya, masyarakat kita hanya jadi objek. dipermudah dengan kredit konsumtif untuk belanja. Keadaaan ini jangan membuat kita terlena. Belum lama, pada tahun 2008, krisis lokal yang jadi pemicu krisis setengah isi dunia, diawali kredit perumahan yang macet di Amerika. Penyebabnya sektor konsumsi. Subprime Mortgage itu kredit yang diberikan kepada lapisan masyarakat yang kurang mampu. Karena sektor keuangan euforia, syarat-syarat kredit dimudahkan, objek investasi yakni perumahan justru jatuh harganya. Lalu debitur kelihatan ‘aslinya’, tak mampu bayar cicilan, lalu perusahaan di sektor keuangan terlibas bergantian.
Menjelang krisis moneter 1997 – 1998, sektor konsumsi kita juga sedang digdaya. Di sisi lain, boroknya terbuka : produksi dalam negeri lemah, terlalu banyak impor, hutang-hutang perusahaan dalam negeri berbentuk USD, sehingga begitu moneter terguncang, habislah semua.
2. Era Satu Miliar Wirausaha – Sudah Siap Mental kah kita ?
McKinsey&Co. menyebut bahwa Nantinya akan banyak profesional dan pekerja kantoran yang sudah cukup disposable income-nya akan nyambi menjadi entrepreneur dengan berinvestasi di bisnis franchise. Pilihan lain mereka terjun secara full-time menjadi social media entrepreneur. Dua investasi di atas jadi pilihan karena low risk – low capital. Barrier untuk masuk ke bisnis pun mengecil. Tapi negeri kita punya persoalan mentalitas. Seandainya mental wirausaha masyarakat kita tinggi, tiap individu yang punya dana siap invest jadi motor ekonomi yg besar sekali jumlahnya. Sayangnya, pemuda negeri ini lebih memilih menjadi orang upahan karena keren dan terlihat mapan. Yang melangkah berbisnis sering terbentur berbelitnya pengurusan pendirian badan usaha, pungli sana-sini dari kelurahan hingga pemerintah propinsi, dan lainnya.
Dengan tembusnya $3000, maka konsumen jenis baru ini akan tumbuh dengan pesat dan akan mewarnai pembelian dan konsumsi produk dan layanan di berbagai industri. Masyarakat Indonesia, sebagai yang paling berhak menikmati hasil dari geliat ekonomi bangsanya sendiri, seharusnya mengambil peranan lebih dari sekedar objek dan target konsumsi semata. Untuk itu, ada 2 PR besar di level negara dan individu agar kita bergembira di negeri sendiri yaitu :
- Negara : buka lebar peluang berusaha, mudahkan izin usaha (termasuk kebijakan pajak lebih lunak bagi pengusaha kecil),lunakkan syarat kredit usaha. Ini semata untu menguatkan sektor produksi, mengimbangi ledakan konsumsi.
- Pribadi : hati2 tawaran utang konsumsi. Tersedianya disposable income justru harus mendorong masyarakat berinvestasi. Pilih sektor riil yang punya daya ungkit terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat. Jika tidak, pilih produk investasi yang benar-benar memberikan perlindungan terhadap masa depan ekonomi yang tak pasti, dalam emas atau reksadana syariah misalnya.
Wallahua’lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment